Penulis buku HOS Tjokroaminoto: Pelopor Pejuang, Guru Bangsa dan Penggerak Sarikat Islam, Agus Hendratno bersama HM Nasruddin Anshoriy CH (kiri) ketika memaparkan tentang tokoh HOS Tjokroaminoto di Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY) belum lama ini.
Bobroknya moral bangsa pada zaman modern saat ini, seperti masih maraknya korupsi hingga kekerasan seksual kepada anak-anak, penting diperhatikan dan sangat urgen untuk segera dilakukan pembenahan.
Melalui penerapan wasiat ajaran dan pemikiran Tjokroaminoto yang sangat terkenal dan bersumber dari hadis Nabi Muhammad SAW, yakni ungkapan lerena mangan sakdurunge wareg, hal tersebut sebenarnya bisa diperbaiki. Tjokroaminoto ingin menyampaikan kepada generasi bangsa agar menghindari sikap rakus dan serakah serta memanfaatkan aji mumpung dengan menggunakan jabatan untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan.
“Jadi sekarang kita banyak melupakan sejarah. Namun banyak yang melupakan, seperti bagaimana politikus sekarang yang banyak lupakan sejarah. Tak heran marak korupsi,” ujar Agus Hendratno, salah satu penulis buku HOS Tjokroaminoto: Pelopor Pejuang, Guru Bangsa dan Penggerak Sarikat Islam, kepada wartawan di sela-sela launching buku di Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY) belum lama ini.
Lewat pemikiran serta penerapan prinsip kebijaksanaan langit dan kecerdasan bumi itu, kata dia, pada akhirnya mampu pula membawa sang tokoh bersama H Samanhudi menghimpun para pengusaha batik di Solo dalam organisasi Sarekat Dagang Islam, atau kemudian disebut dengan Sarekat Islam ke arah modernisasi perdagangan lewat koperasi saat itu. “Prinsip kecerdasan yang digunakan dalam mengelola sumber daya alam, melebihi pemikiran dan kelola batik saat itu. Tapi sekarang apa ya paham tentang sejarah, jangan-jangan kita kehilangan api sejarah dan dapat abu saja, saya prihatin,” katanya.
Padahal meski bukan berlatar belakang dari ilmu sejarah, pria yang merupakan Dosen Geologi UGM ini, selalu menyempatkan diri untuk belajar sejarah. Karena untuk mempelajari segala hal tentang migas maupun tambang, tak lepas dari ilmu sejarah pula. “Sulit (terapkan ajaran Tjokroaminoto) kalau lingkungan juga tidak mendukung. Dan itu juga tidak mudah, apalagi (Indonesia) marak korupsi baik terekspos maupun terselubung,” kata dia.
Meski demikian, lebih baik terlambat daripada tidak melakukan sama sekali. Melalui sosok Tjokroaminoto itu, kita jadi tahu bahwa segala penyelesaian permasalahan tidak harus dilakukan dengan cara kekerasan. Namun bisa dengan toleransi, perdamaian, serta rasa nasionalisme yang kokoh. Seperti ketika menghadapi kolonialisme penjajah saat itu.
“Beliau inspiring dan pengubah, kembali pada yang diajarkan Mbah Tjokroaminoto, tidak perlu rakus dan (harus) dikuasai kelompok tertentu. Tetap kembali pada pribadi seseorang, ketika makan glegeken( kekenyangan) maka saatnya berhenti. Namun konteks saat ini, malah makan terus,” ujarnya. Bagi generasi muda tidak perlu bergantung pada teknologi untuk bisa menyerap ajaran tersebut.
Meskipun sebenarnya teknologi juga penting. Namun tidak dipungkiri karena pengaruh teknologi pula, yang menyebabkan perpustakaan buku jadi sepi. Padahal cara manual dan tradisional seperti budaya baca, khususnya buku sejarah, penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara HM Nasruddin Anshoriy CH, penulis lainnya menambahkan, dalam buku yang dicetak Penerbit Ilmu Giri itu, tak hanya memuat tentang pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto semata.
Namun, juga multifragmen dan singgungan dari kelompok-kelompok pemikiran lainnya yang terinspirasi dari pemikiran Tjokroaminoto, seperti Ahmadiyah, tradisional Islam, modern Islam, hingga Kejawen. “Buku ini beda dengan buku-buku sebelumnya yang banyak mengulas tentang biodata seorang Tjokroaminoto. Lebih ke fragmen pemikiran dari Tjokroaminoto yang dibahas. Ada temuan dalam film Tjokroaminoto yang dibuat Garin Nugroho, belum dimunculkan dalam film antara lain tokoh Kejawen.
Dan yang menarik di sini justru siapa sebenarnya guru Mbah Tjokro ketika ditelusuri jelas asal-muasal sama dengan Ronggowarsito, tokoh Pujangga Jawa,” kata Nasruddin. (Siti Estuningsih )