Pri Utami, Srikandi di Belantara Panas Bumi

Pri Utami adalah mahluk langka. Ia menggeluti bidang yang umumnya ditekuni pria, yaitu Geotermal. Bidang ini mempelajari energi panas yang dihasilkan dan disimpan di dalam inti bumi. Pemanfaatan selanjutnya bermacam-macam, namun terutama untuk energi listrik. Pada 2015, International Geothermal Association mendapuknya menjadi Woman in Geothermal Ambassador bersama dengan tokoh-tokoh wanita yang bergelut di bidang geotermal dari negara-negara lain.

Usai mengambil PhD di New Zealand pada 2012, Pri Utami ditawari untuk berkarir di sana. Tapi Pri bergeming. “Saya ingin tetap di UGM (Universitas Gadjah Mada), sebab dengan demikian saya bisa berbuat lebih banyak untuk Indonesia,” ujarnya. Ia mengatakan, negeri ini memiliki cadangan energi panas bumi lebih dari 20.000 megawatt namun masih sedikit sekali yang sudah dimanfaatkan. “Kita belum kompak untuk move on dari ketergantungan kepada energi fosil,” ujarnya.

Ihwal anggapan bahwa bidang yang ditekuninya adalah dunia maskulin, ia mengatakan itu hanya masalah dikotomi profesi pria dan wanita yang yang sudah terlanjur melekat di masyarakat. “Kalau pria bisa menjadi ahli kuliner atau perancang busana, mengapa wanita tidak bisa menjadi ahli geotermal,” kata dia.

Berikut petikan perbincangan dengan Pri Utami, April lalu.

# Masih suka menggelantung di tebing dan asyik dengan bebatuan?
(Tertawa) Kami (sebagai geologist) memang sering sekali ke lapangan. Bisa hanya satu hari jika field trip, tapi untuk penelitian lapangan bisa berbulan-bulan. Untuk geotermal kami juga ke tempat-tempat panas dan penuh uap, dengan membawa peralatan yang berat-berat.

# Bagaimana bisa terjun di bidang yang maskulin sejak di bangku kuliah?
Saya tidak ragu untuk membangun karir di bidang ini. Pertama sebagai ungkapan syukur dan suka cita karena saya telah diberi kemampuan dan kesempatan, dan yang kedua untuk menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menjunjung tinggi kesetaraan berkarir bagi pria dan wanitanya.

# Dengan aktivitas sebagai geologist, benarkah bidang ini membutuhkan otot dan tenaga besar, keras, selain otak encer?
Bukan masalah harus berotot dan bertenaga besar, hanya saja harus bugar dan suka aktivitas outdoor sebab obyek yang diteliti ada di lapangan. Walaupun sekarang teknologi penginderaan jauh dan teknologi informasi sudah sedemikian maju, tetap saja pengamatan dan penelitian lapangan menjadi kunci profesi ahli geologi.

# Jadi apakah sulit untuk tampil feminim?
Oh, tidak begitu. Pagi hari saya bisa ‘berdarah-darah’ di lapangan, tapi malam hari harus tampil berbeda. Misalnya, pernah saya seharian di lapangan, lalu malam hari harus menghadap Gubernur, maka saya memakai pakaian feminim lengkap dengan high heels. Bahkan saat 17 Agustus saya masih harus di lapangan. Berhubung ada acara resmi, saya bawa kebaya, konde dengan segala aksesoris termasuk ber-make up. Hahaha….

Jadi, bukan berarti perempuan tidak bisa tampil cantik, hanya sedikit maskulin jika bertugas di lapangan.

# Sempat merasa salah jurusan atau ini cita-cita sejak kecil?
Sewaktu kecil saya “bermulut besar”, bila ditanya ingin jadi apa saya selalu menjawab ingin jadi Duta Besar. Sepertinya menjadi Duta Besar itu sangat keren karena bisa keliling dunia. Tetapi ketika SMA saya menemukan sebuah buku tentang ilmu kebumian yang memuat gambar seorang geologist wanita kulit putih sedang bekerja di lapangan. Dalam hati saya berkata, “Ih… gue banget yach” padahal kulit saya sawo matang. Hahahaha….

Sejak itu saya ganti cita-cita yaitu menjadi seorang ahli geologi dan kuliah di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Ternyata, dengan menjadi ahli geologi saya seperti mendapat tiket keliling dunia. Mengunjungi banyak negara untuk berbicara pada konferensi, mengajar, meneliti, dan menjalin kerjasama internasional.

# Bukankah sekarang juga Duta Besar? Apakah tugas-tugas sebagai Ambasador Panas Bumi?
Ya, pada 2015 saya dipilih oleh International Geothermal Association untuk menjadi Woman in Geothermal Ambassador bersama dengan tokoh-tokoh wanita yang bergelut di bidang geotermal dari negara-negara lain. Kami berasal dari berbagai latar belakang keilmuan dan jenis pekerjaan dalam lingkup geotermal. Tugas kami antara lain adalah membagi pengalaman atau memberi fasilitas untuk berbagi pengalaman kepada wanita-wanita yang ingin belajar dan/atau berkarir di bidang geothermal. Kami menjaring masukan dari wanita-wanita di lingkungan kami untuk diimplementasikan dalam pengembangan geotermal secara global.

Sebagai contoh, saya berbagi pengalaman selaku peneliti geotermal dengan para siswi sekolah-sekolah menengah atas di Selandia Baru, membentuk dan membina komunitas pemuda-pemudi pecinta panas bumi di Sulawesi Utara yang merupakan salah satu lumbung geotermal di kawasan timur Indonesia. Saya juga memberikan gambaran tentang kemajuan karir para wanita praktisi geotermal di Indonesia serta menyampaikan suara mereka pada kongres geotermal sedunia.

# Apa energi geotermal, bagaimana terbentuknya?
Energi geothermal atau panas bumi adalah energi panas yang berasal dari dalam bumi. Energi ini melimpah di daerah vulkanik termasuk di Indonesia yang terletak di Sabuk Api Pasifik. Energi ini terbentuk karena ada panas yang tersimpan dalam sebuah sistem geotermal. Di permukaan, sistem geotermal dicirikan oleh munculnya mata air panas, fumarol, tanah beruap, serta batu-batuan yang telah terubah oleh proses reaksi dengan air panas.

# Bagaimana cara memanfaatkan energi ini untuk menjadi listrik? Mengapa disebut energi yang ramah lingkungan dan terbarukan?
Energi panas diekstraksi dari fluida geotermal yang diambil dari dalam reservoir dengan suhu ≥ 250 derajat celcius, kedalaman sekitar 1 – 3 km, melalui sumur-sumur produksi. Uap yang dihasilkan dipakai untuk memutar turbin pembangkit listrik. Fluida yang telah diekstraksi panasnya diinjeksikan kembali ke dalam batuan reservoar.

Energi geotermal bersifat ramah lingkungan karena pengembangan energi geotermal bukanlah proses penambangan material, melainkan proses ekstraksi tenaga panas dari dalam bumi yang dibawa oleh fluida geotermal yang kemudian dikembalikan lagi ke dalam reservoar bukan di buang ke sungai, laut, atau lahan sekitar.

Emisi gas CO2 dan H2S yang keluar dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) jumlahnya sangat tidak signifikan dibanding dengan emisi dari pembangkit listrik tenaga fosil. Lalu lahan yang diperlukan untuk pengembangan geotermal relatif kecil.

# Ada pemanfaatan lainnya?
Di negara-negara yang lebih maju seperti Amerika Serikat, Selandia Baru dan Jepang, geotermal juga dimanfaatkan secara langsung misalnya untuk pemanasan dan pendinginan ruangan, pemanasan dalam proses industri, dan juga pemanfaatan secara berjenjang dari suhu yang tertinggi untuk keperluan pembangkitan listrik konvensional. Geotermal juga dimanfaatkan untuk pembangkit listrik siklus biner, hingga suhu yang terendah misalnya untuk menghangatkan kolam budidaya ikan, kolam pemandian, rumah kaca, dsb.
Kini Indonesia tengah mengembangkan pemanfaatan secara langsung antara lain untuk sterilisasi media tanam jamur di Lapangan geotermal Kamojang (Jawa Barat), untuk pembangkit listrik siklus biner dan untuk proses memasak gula aren di Lapangan geotermal Lahendong (Sulawesi Utara).

Harus diingat bahwa ada juga energi geotermal di Indonesia yang tidak berasosiasi dengan gunung api, yang tenaganya lebih rendah di bandingkan dengan energi panas bumi di daerah gunung api. Jenis potensi yang demikian pun sangat penting untuk dikembangkan, misalnya dimanfaatkan secara langsung untuk pemanasan pada proses-proses industri.

# Berapa lama Break Event Point (BEP) dari listrik geotermal?
BEP geotermal bisa mencapai sekitar 6 – 10 tahun.

# Dibandingkan dengan sumber energi listrik terbarukan lainnya, bagaimana cadangan energi ini?
Dibandingkan dengan jenis energi terbarukan yang lain, pasokan energi geotermal jauh lebih stabil karena sumber panasnya terletak di dalam bumi sehingga tidak terpengaruh oleh musim. Teknologinya pun aman dan sudah dikuasai oleh putra-putra Indonesia.

# Seberlimpah apa energi ini untuk memasok kebutuhan listrik?
Sebagai gambaran sederhana, bila satu rumah membutuhkan 1,000 Watt listrik, maka sebuah lapangan geotermal yang menghasilkan 100 megawatt (MW) listrik dapat menerangi 100.000 rumah. Nah, kita diperkirakan memiliki cadangan energi panas bumi lebih dari 20.000 MW.

Potensi geotermal Indonesia (baik yang bertemperatur tinggi, menengah dan sedang) ini tersebar di lebih dari 250 lokasi. Potensi yang bertemperatur tinggi (≥ 250oC) kebanyakan terdapat di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi Utara. Saat ini lapangan yang sudah dalam tahap produksi ada 11, yaitu Sibayak (Sumatra Utara), Ulubelu (Lampung), Kamojang, Darajat, Salak, Wayang Windu, Patuha (Jawa Barat), Dieng (Jawa Tengah), Ulumbu, Mataloko (Nusa Tenggara), Lahendong (Sulawesi Utara).
Energi panas itu sendiri tidak dapat dipindahkan ke lokasi yang jauh dari sumbernya, tetapi bila telah dikonversi menjadi tenaga listrik ia dapat dikirim ke tempat lain. Sebagai contoh tenaga listrik yang dihasilkan oleh Lapangan Panas Bumi Lahendong di Kota Tomohon telah menerangi Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo.

# Mengapa pemanfaatan energi geotermal di Indonesia masih kecil? Apakah kendalanya?
Pemanfaatannya masih kecil karena kita belum kompak untuk move on dari ketergantungan kepada energi fosil. Patut dicatat bahwa potensi energi-energi terbarukan yang lain juga harus dikembangkan, sehingga bersama-sama dengan geotermal dapat melepaskan kita dari ketergantungan terhadap energi fosil.

Pemerintah menargetkan pada tahun 2019 kita sudah memiliki tambahan listrik dari geotermal sebesar 1,700 megawatt dari 1,400 megawatt listrik geotemral yang telah berhasil kita bangkitkan hingga saat ini.

# Omong-omong, ada kabar diminta menjadi dosen dan peneliti di Selandia Baru?
Saya sekarang menjadi pengajar dan peneliti tamu di Selandia Baru dan di negara-negara lain. Tentu saya senang. Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas-batas negara dan kebangsaan. Ilmu pengetahuan dikembangkan dan disebarluaskan untuk menerangi peradaban seluruh umat manusia. Saya bersyukur karena sebagai wanita Indonesia saya mendapatkan kesempatan yang setara dengan pria dan wanita dari bangsa lain untuk turut mengambil bagian dalam hal tersebut.

Tetapi, saya ingin tetap di UGM, sebab dengan demikian saya bisa berbuat lebih banyak untuk Indonesia, baik melalui jalur akademik, industrial linkage, layanan kepakaran kepada Pemerintah Indonesia, serta pemberdayaan masyarakat di lingkungan panas bumi. Saya memandang bahwa karena Indonesia adalah negara berpotensi panas bumi terbesar di dunia, maka sudah seharusnya kelak Indonesia menjadi pusat keutamaan pengembangan panas bumi. Saya dengan senang dan bangga akan selalu membantu mewujudkannya.

# Bagaimana hingga mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke Selandia Baru, salah satu Negara paling maju dalam penelitian dan pemanfaatan panas bumi?
Ketika saya kuliah S1 di UGM mata kuliah panas bumi belum begitu berkembang, tetapi saya memberanikan diri mengambil tugas akhir (skripsi) di bidang geotermal karena terinspirasi dari perjalanan wisata keluarga ke Dieng (Jawa Tengah), yang ternyata adalah salah satu penghasil energi geotermal. Saya pun mengajukan penelitian pada Divisi Geotermal Pertamina (sekarang bernama PT PGE). Di sana saya diberi kesempatan untuk meneliti sebuah prospek panas bumi di Jawa Barat dan juga berkesempatan melihat secara langsung proses eksplorasi hingga pengembangan potensi geotermal. Sejak saat itu saya mulai membaca karya-karya para profesor dari Selandia Baru. Para mentor saya di perusahaan tersebut adalah lulusan Geothermal Institute, The University of Auckland, Selandia Baru yang memang merupakan sekolah panas bumi terbaik. Ketika beberapa dari profesor dari Geothermal Institute datang ke Indonesia saya tangkap peluang untuk berguru dan berdiskusi dengan mereka. Kemudian saya berjuang mencari beasiswa untuk melanjutkan seluruh studi pasca sarjana saya di kampus mereka.

#Waktu sekolah apakah termasuk murid pintar? Apakah ini modal utama untuk menjadi ilmuwan ataukah ada modal lainnya?
Saya senang belajar tanpa harus dikejar-kejar oleh siapapun. Saya memandang bahwa belajar maupun meneliti adalah proses yang membebaskan dan memuaskan. Spiritually rewarding! Saya yakin untuk menjadi ilmuwan kita tidak harus terlebih dahulu menjadi orang yang sangat pintar sejak lahir, tetapi kita harus bisa membina diri kita sendiri untuk berpikiran yang terbuka dalam mencari kebenaran, mau belajar dan bekerja dengan cerdas, serta percaya pada kemampuan diri.

Sumber: Tempo