1. Sari :
Kejadian gempa bumi yang pernah terjadi di Kulon Progo dan sekitarnya menarik untuk diteliti. Berdasarkan karakteristiknya, kejadian gempa bumi tersebut berasosiasi dengan keberadaan sesar yang diperkirakan aktif yang berpotensi terulang kembali suatu saat nanti, oleh sebab itu diperlukan penelitian untuk mengetahui dan memetakan keberadaan sesar aktif di sekitar episentrum tersebut. Penelitian dilakukan dengan pendekatan penginderaan jauh yang meliputi: persebaran kelurusan, nilai kelerengan, dan pola penyaluran dengan cakupan yang lebih luas, kemudian difokuskan di Desa Bligo, Purwoharjo, Banjararum, dan Banjarharjo untuk penyelidikan lapangan dengan perhatian pada unsur deformasi batuan, data tersebut kemudian dikonfirmasi dengan kondisi bawah permukaan dangkal dengan metode Ground Penetrating Radar (GPR) menggunakan 1 set AKULA 9000C.
1. Sari :
Desa Argodadi dan Argorejo, Kecamatan Sedayu serta Desa Triwidadi, Kecamatan Pajangan termasuk dalam wilayah yang mengalami kekeringan pada musim kemarau. Eksplorasi air tanah perlu dilakukan salah satu solusi untuk menekan kekurangan air bersih pada musim kemarau. Metode penyelidikan air tanah yang digunakan adalah metode geofisika berupa survey geolistrik resistivitas dengan konfigurasi
Schlumberger. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui litologi penyusun, batuan yang menjadi akuifer, dan persebaran tubuh akuifer di daerah penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data geologi permukaan berupa ground chechking sebanyak 22 titik dan data geologi bawah permukaan berupa pengukuran dengan geolistrik sebanyak 30 titik. Analisis yang dilakukan terdiri atas analisis data resistivitas untuk mengetahui variasi litologi penyusun, dan analisis korelasi bawah permukaan untuk mengetahui persebaran lapisan dan penentuan akuifer. Hasil analisis data menunjukan bahwa secara vertikal litologi permukaan disusun oleh batulempung dengan rentang resistivitas 1,05 – 2,99, batupasir dengan rentang resistivitas 2,12 – 2,94, napal dengan rentang resistivitas 3.01 – 80, batugamping dengan rentang resistivitas 51,11 – 155,66. Secara horizontal litologi bawah permukaan didominasi oleh napal dimana disebelah timurlaut memiliki hubungan menjari dengan batupasir dan batulanau serta disebelah tenggara napal juga memiliki hubungan menjari dengan
batugamping dengan nilai resistivitas yang tinggi. Lapisan batuan yang dapat menjadi akuifer dilokasi penelitian adalah batugamping dengan nilai resistivitas 51,11 hingga 155,66.
Dibuka kesempatan bagi mahasiswa Program Sarjana, Magister, dan Doktor Teknik Geologi FT UGM untuk mengikuti exchange program dengan beasiswa menarik di Lakehead University, Canada dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Sari :
Jalan Raya Talegong, Garut, Jawa Barat adalah jalan provinsi yang menghubungkan Garut dan
Bandung. Jalan ini berlokasi di antara perbukitan tinggi berlereng curam yang memiliki potensi bencana
tanah longsor. Untuk mengetahui karakteristik geologi dan geologi teknik di sekitar KM 2,3 – KM 6,7
diperlukan dengan membuat peta. Metode yang digunakan pada daerah penelitian adalah pemetaan
geologi teknik (litologi, geomorfologi, geologi struktur, dan kualitas massa batuan) dan analisis
laboratorium sifat indeks tanah dan batuan, uji geser, analisis petrografi dan uji uniaxial comprehensive
strength. Hasil dari pemetaan geologi teknik, pada aspek litologi tersusun atas satuan andesit afanitik
dan satuan andesit porfiritik, lalu aspek geomorfologi tersusun atas perbukitan tinggi berlereng cukup
curam hingga sangat curam. Aspek struktural tersusun atas arah gaya utama NWW – SEE. Daerah
penelitian terbagi menjadi tiga satuan pada peta geologi teknik: Satuan A, B dan C dengan nilai
klasifikasi RMR berurutan good rock (R2 – R6) dengan lereng cukup curam dan keberadaan struktur
yang jarang, fair rock (R1 – R5) dengan lereng curam – sangat curam dan keberadaan struktur yang
cukup melimpah, dan poor rock (R1 – R3) dengan lereng sangat curam dan keberadaan struktur
melimpah. Penilaian stabilitas lereng pada Jalan Raya Talegong dilakukan pada segmen lereng di sisi
timur Jalan Raya Talegong di KM 2.7; lalu KM 5.1 – KM 5.6; dan KM 6.1 dan KM 6.5. Penilaian ini
dilakukan pemodelan faktor keamanan dengan mengasumsi rekayasa nilai keamanan Jalan Raya
Talegong dari kilometer 2.1 hingga kilometer 7. Sepanjang Jalan Raya Talegong memiliki nilai faktor
keamanan longsor stabil (FS < 1) kecuali pada kilometer 6.5 yang memiliki nilai faktor keamanan
longsor labil (FS > 1) (0.963).
1. Sari :
Sector collapse merupakan longsoran pada tubuh gunung api yang menghasilkan morfologi torehan kaldera berbentuk tapal kuda dan perbukitan hummocky yang tersusun atas endapan debris avalanche. Studi mengenai morfometri, distribusi endapan, dan penjajaran perbukitan hummock diperlukan untuk mengetahui sumber endapan dan proses deposisi penyebaran endapan debris avalanche. Gunung Galunggung merupakan salah satu gunung api yang ada di Jawa yang memiliki torehan kaldera sebesar 7 km yang membuka ke arah tenggara (N135oE) dan perbukitan hummock yang menutupi area ±32 km2
. Pada pengamatan lapangan perbukitan hummock, endapan tersusun atas fasies blok lava dan fasies campuran. Fasies blok tersebar pada area yang dekat dengan sumber sedangkan fasies campuran tersebar secara merata. Pada pengamatan petrografi, blok lava dan fragment fasies campuran tersusun atas batuan andesit dan basal. Morfometri perbukitan hummock memiliki luas antara 500 – 380.000 m2 , rasio elongasi antara 1.3 – 3.9. Perbukitan hummock tersebar dari 0,5 – 20 km dari puncak Gunung Galunggung. Orientasi perbukitan hummock menyimpang dari arah aliran utama membentuk berbagai sudut. Orientasi perbukitan hummock dibagi menjadi parallel (0 – 45o) dan tegak lurus (45 – 90o). ukuran maksimal perbukitan hummock menurun seiring bertambahnya jarak dari sumber. Kesejajaran perbukitan hummock juga berubah dari tegak lurus ke parallel. Pola penyebaran endapan debris avalanche ini merupakan tipe aliran menyebar bebas.
1. Sari :
Kompleks Gunung Api “HP” merupakan bagian dari rangkaian gunung api Kuarter di Pulau Jawa. Berdasarkan pemetaan di permukaan dan data analisis dari peneliti terdahulu, pembentukan kompleks gunung api ini dibagi menjadi 3 tahap yaitu prakaldera, pembentukan kaldera, dan pasca-kaldera dengan produk vulkanisme yang tersusun dari lava, batuan piroklastik, dan vulkaniklastik dengan komposisi mineral berupa plagioklas, piroksen, hornblend, mineral opak, mineral oksida, gelas vulkanik, dan litik. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik batuan dan estimasi batas endapan pra, pembentuk, dan pasca-kaldera Kompleks Gunung Api “HP” berdasarkan data sumur pemboran “X”. Penelitian didahului dengan identifikasi karakteristik petrologi sampel cutting menggunakan metode analisis binokuler, petrografi, dan pendekatan stratigrafi untuk kemudian dijadikan sebagai dasar dalam penentuan batas dari tiap-tiap fase aktivitas vulkanisme di kompleks gunung api tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa endapan pra-kaldera tersusun
dari breksi tuf, tuf, dan lava andesit, sedangkan endapan pembentuk kaldera tersusun dari breksi tuf pada bagian bawah dan aliran tuf (ignimbrit) dengan pumis terakumualsi di lapisan teratas. Sementara itu, endapan pasca-kaldera tersusun dari lava andesit, tuf, dan breksi tuf dengan keterdapatan skoria pada lapisan terdangkal. Secara keseluruhan, komposisi mineralogi batuan sumur pemboran “X” tersusun dari plagioklas, orthopiroksen, klinopiroksen, hornblend, gelas vulkanik, litik batuan, mineral opak, dan mineral oksida. Tekstur yang dijumpai pada endapan pra-kaldera yaitu porfiritik, vitrovirik, trakitik, vesikuler, intersertal, sieve, dan zoning. Tekstur yang dijumpai pada ignimbrit pembentuk kaldera adalah trakitik dan vesikuler pada litik batuan, sieve pada kristal plagioklas, sferulit pada gelas vulkanik, dan jejak perlit pada pumis. Sementara itu, tekstur pada endapan pasca-kaldera terdiri dari porfiritik, vitrovirik, trakitik, vesikuler, glomeroporfiritik, dan sieve serta zoning pada plagioklas. Korelasi dengan kolom stratigrafi menunjukkan bahwa batas endapan pra dan pembentuk kaldera adalah sekitar 1517 mMD atau 64 mdpl, sedangkan batas endapan pembentuk dan pasca-kaldera adalah
sekitar 987 mMD atau 604 mdpl. Batas ini lebih dalam dari perkiraan kedalaman endapan berdasarkan data sayatan geologi regional. Namun, hal tersebut masih wajar karena pembuatan sayatan regional belum dikorelasi dengan struktur bawah permukaan yang mungkin terbentuk selama periode subsiden kaldera.