Pada 19 Januari 2024 telah berlangsung Kegiatan Dialog Koordinasi dan Sinergi Isu-Isu Diplomasi Ekonomi di Kawasan Amerika dan Eropa di Bali. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Salah satu bahasan yang diangkat pada diskusi ini yaitu potensi minerba. Arifudin Idrus, selaku dosen Teknik Geologi UGM, sekretaris jenderal MGEI (Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia), dan Tim Penyusun NA Mineral Kritis dan Mineral Strategis Indonesia membawakan topik “Mineral Kritis dan Mineral Strategis di Indonesia: Kriteria, Jenis, Potensi dan Inisiatif Tata Kelola”.
Mineral kritis memiliki definisi yang bermacam-macam. Berdasarkan dokumen outlook selected critical minerals yang dikeluarkan oleh Departemen Industri, Sains, Energi dan Sumber Daya Australia, mineral kritis merupakan logam atau non-logam yang memiliki fungsi ekonomi penting, tidak dapat diganti dan menghadapi resiko pasokan (supply risk) yang tinggi. Risiko yang dimaksudkan dapat berasal dari kelangkaan geologi, masalah geopolitik, kebijakan perdagangan, ataupun faktor lain. Kekritisan merupakan fungsi dari faktor keterbatasan pasokan, nilai ekonomi, harga yang tinggi, penggunaan di berbagai sektor industri, dinamika pasar, dan nilai manfaat untuk perekonomian dan pertahanan negara.
Karakteristik utama dari mineral kritis atau critical raw material (Simon, dkk., 2014) yaitu sangat penting untuk teknologi kunci dan utama, kekurangan pasokan yang berdampak pada ekonomi, kemungkinan besar adanya gangguan pasokan, dan sedikit atau tidak ada bahan pengganti yang memuaskan. Komoditas mineral yang termasuk mineral kritis di Indonesia berjumlah 47 komoditas yang terdapat pada Kepmen No. 296 Tahun 2023 dengan diantaranya yaitu alumunium (bauxite), chromium, cobalt, iron, lithium, nickel, REE, titanium, dsb. Apabila mengacu pada kepentingan strategis nasional berupa ekonomi dan pertahanan negara, mineral kritis termasuk dalam industri strategis. Perihal industri strategis ini telah diatur pada UU No. 3 Tahun 2014, UU No. 16 Tahun 2012, dan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1989 tentang Badan Pengelola Industri Strategis. Industri strategis yang dimaksudkan terdiri atas industri pertahanan dan keamanan, transportasi, energi terbarukan, kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, baja, telekomunikasi, dan teknologi tinggi lainnya termasuk farmasi dan alat kesehatan. Kebutuhan material atau unsur disusun dari data kebutuhan beberapa industri strategis dan ditambahkan beberapa referensi kebutuhan material industri strategis global.
Assessment mineral kritis menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, sehingga dihasilkan 47 komoditas yang termasuk dalam mineral kritis. Dalam assessment ini digunakan beberapa data seperti cadangan mineral nasional dan global, royalti pengusaha pertambangan mineral, produksi komoditas mineral nasional, dan ekspor komoditas mineral. Metode kualitatif dilakukan dengan keterkaitan secara genetik komoditi dalam mineral bijih serta membandingkan data data dari parameter seperti sumber daya/cadangan mineral nasional vs global, royalti dari produksi penambangan, dan konsumsi mineral dalam industri strategis. Selain itu, pada metode kuantitatif, model yang digunakan untuk menghitung kestrategisan mineral yaitu rata rata geometri. Hasil dari assessment tersebut menghasilkan 7 komoditas mineral strategis Indonesia yaitu timah, bauksit, nikel, tembaga, emas, perak, dan besi.
Sebagian besar mineral kritis di Indonesia keterdapatannya merupakan komoditi ikutan dan sebagian besar mineral kritis belum memiliki sumber daya/cadangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan riset dan penyelidikan mengenai hal tersebut. Selain itu, perlu dilakukan inisiatif tata kelola dan potensi dari hulu hingga hilir dalam rangka mempersiapkan pasokan bahan baku industri strategis di Indonesia.
Dewi Indah Kusuma Sari | Desember 2024