Penulis: Nareswara Kanya Maharsi
Sebagai mahasiswa Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, sudah sepatutnya mengabdikan diri untuk menjadi ‘penjelajah’ di masing-masing belahan bumi yang sudah memilih diri mereka. Selain perjalanan hidup yang harus dilewati, kuliah lapangan atau pemetaan geologi mandiri adalah salah satu kegiatan wajib yang harus dilalui oleh seluruh mahasiswa Teknik Geologi sebelum menyandang gelar sarjana. Sebagai bagian dari syarat kelulusan, kegiatan ini menjadi kesempatan emas untuk belajar langsung di lapangan, mengaplikasikan teori yang diperoleh di ruang kelas, sekaligus menempa mental sebagai calon geolog muda kebanggaan bangsa. Tanpa lelah dan dengan tekad yang kuat, para mahasiswa mengorbankan waktu libur mereka untuk menjadi pengukur bumi sejati. Mulai dari pemetaan di Bayat, Klaten, hingga kavling pemetaan mandiri di Bojonegoro yang terletak di Pegunungan Kendeng, mereka menggali ilmu sambil menghadapi berbagai tantangan nyata di lapangan. Terjalnya medan, panasnya matahari, dan panjangnya perjalanan tak menyurutkan semangat mappers untuk memahami lebih dalam struktur bumi dan fenomena geologi yang tersingkap pada masing-masing belahan bumi yang telah ‘memilih’ jiwa mereka. Kuliah lapangan ini menjadi bukti nyata bahwa menjadi seorang geolog adalah kombinasi antara tekad, kecerdasan, dan cinta terhadap alam.
Sebelum bercerita lebih jauh, izinkan sang penulis, Nareswara Kanya Maharsi memberikan kesan tersendiri terhadap kavling saya. Bojonegoro, dengan pesona alam dan budayanya, menyimpan kisah unik bagi para geolog yang melangkah ke pelosoknya. Dalam salah satu perjalanan pemetaan geologi, saya, seorang calon geolog muda yang akhirnya belajar menemukan bahwa pekerjaan tidak hanya tentang membaca lapisan batuan, tetapi juga tentang memahami kehidupan yang mengitarinya. Secara spesifik, kavling pemetaan saya mencakup dua kabupaten yakni Blora, Jawa Tengah dan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dengan wilayah terbesar meliputi Desa Kalangan, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Jawa Timur. Dengan motor sebagai sahabat setia, saya menyusuri jalan setapak di tengah hutan, menghadapi ban bocor berkali-kali dan terjebak hujan di jalan berlumpur yang licin. Segala tantangan yang ada, alih-alih melelahkan, justru menjadi penguat semangat untuk menyelesaikan peta dengan sebaik mungkin.
Di tengah perjalanan yang sulit, ada satu hal unik yang menyadarkan saya. Sebagai manusia yang terlahir bangga sebagai rakyat Jawa, interaksi dengan masyarakat lokal disini menjadi warna tersendiri. Keramahtamahan berbagi cerita dan kearifan lokal dari warga, membuat saya kagum dan semakin mencintai serta sadar akan betapa penting dan indahnya kekayaan keanekaragaman budaya. Hal ini diawali dengan tiada hari tanpa berinteraksi dengan warga yang bertanya tentang apa yang saya lakukan, atau dengan izin “Nyuwun sewu, Bu, izin badhe ningali watu kagem penelitian kuliah”. Selain itu, rasa memiliki antar warga yang selalu membagikan makanan tradisionalnya pada kami juga praktis membuat kami belajar lebih tentang keanekaragaman budaya. Pengalaman ini tak hanya memperkaya pengetahuan tentang budaya lokal, tetapi juga membangun rasa hormat mendalam terhadap cara hidup sederhana namun penuh makna.
Pemetaan geologi di Bojonegoro bukan hanya soal mengungkap rahasia lapisan bumi, tetapi juga tentang menghargai harmoni antara manusia dan alam. Saat motor yang terjebak lumpur harus diangkat sendiri di tengah hujan, momen ini menjadi refleksi tentang ketahanan dan tekad. Setiap batu yang dicatat, setiap garis yang digambar di peta, adalah hasil dari perjuangan fisik dan emosional. Pengalaman ini membuktikan bahwa pemetaan geologi tidak hanya membangun peta, tetapi juga membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan itu sendiri.
Disamping itu, tak lupa juga bahwa tugas ini membawa keindahan tak terduga. Desa-desa di Bojonegoro menyuguhkan pemandangan yang memanjakan mata: hamparan sawah hijau, gemericik sungai kecil, dan anak-anak bermain ceria di jalan setapak. Bentangan Sungai Bojonegoro yang memisahkan Kabupaten Blora dan Bojonegoro juga menjadi sesuatu yang layak tersorot pada kesempatan ini. Keindahan alam tersebut yang patut dipamerkan pada khalayak ramai disajikan secara selaras dengan interaksi penduduk setempat memunculkan kembali jati diri sebagai putri Jawa, mengasah kemampuan berbahasa berbincang penuh kehormatan dengan para sesepuh, hingga berbagi senyuman dengan anak-anak desa.
Di tengah semua itu, ada nama-nama yang tak akan terlupakan: Pak Kasmani, Kepala Desa yang dengan murah hati memberikan akses informasi tentang daerahnya, dan Bu Sus beserta suami yang menjadi tuan rumah kami. Setiap sarapan dan makan malam, mereka tak hanya menyajikan masakan tradisional yang lezat, tetapi juga cerita-cerita tentang kearifan lokal yang membuka cakrawala baru tentang Bojonegoro. Melalui mereka, kami belajar bahwa tanah yang kami teliti bukan hanya sebidang bumi, melainkan juga rumah bagi nilai-nilai luhur yang layak dijaga.
Dewi Indah Kusuma Sari | Desember 2024