Cerita dari Hari-Hari Pemetaan: Kebersamaan, Tantangan, dan Pelajaran di Lapangan

Penulis: Alya Riskyani

Langit biru menyambut kami ketika tiba di tempat baru ini. Keakraban pertama datang dari sebuah suguhan sederhana—gorengan hangat yang dihidangkan oleh tetangga sebagai ucapan selamat datang. Hari itu menjadi awal kebersamaan kami, aku dan teman-teman kelompokku: Nadia, Salman, Imam, dan Gibran, serta adik-adik angkatan 2023, Tiwi, Hanges, dan Embun. Kami memulai rutinitas dengan penuh semangat, ditemani kicauan alarm pagi yang saling membangunkan.

Setiap pagi, kami bersiap menuju lapangan dengan satu ritual yang tak pernah terlewatkan: sarapan bersama di warung milik seorang ibu yang ramah. Masakan beliau—sederhana namun kaya rasa—selalu menjadi bekal energi kami untuk menjalani hari yang panjang di lapangan. Meski aku belum sempat menanyakan nama beliau, kehangatannya terasa seperti keluarga.

Namun, siang hari sering kali menjadi waktu yang berat. Sulitnya menemukan tempat makan di sekitar kavling membuatku kerap lupa makan siang. Meski begitu, malam hari selalu menjadi momen yang menyenangkan. Setelah seharian berjibaku di lapangan, kami kembali berkumpul untuk makan malam. Salman sering menjadi koki dadakan, memasakkan nasi goreng yang ditemani nugget dan sosis. Sederhana, tetapi kebersamaan membuat setiap suapan terasa istimewa. Malam-malam itu diisi dengan tawa, cerita, dan pengalaman lucu yang kami alami sepanjang hari.

Foto bersama ibu warung pada hari terakhir di desa wonoharjo

Pada awal pekan, aku memulai tugas pemetaan seorang diri. Solo mapping, istilah yang kami gunakan, menjadi tantangan yang cukup berat. Berkali-kali aku merasa kebingungan di lapangan. Namun, aku tahu, setiap kesulitan adalah bagian dari proses belajar. Setiap rintangan mengajarkan cara untuk melangkah lebih baik keesokan harinya.

Hari-hari berlalu, hingga akhirnya kabar baik datang. Embun, salah satu adik angkatan, menawarkan diri untuk menemani proses pemetaan. Kehadirannya mengubah segalanya. Kami berbagi tugas, berbagi cerita, dan berbagi semangat di sepanjang perjalanan. Di bawah terik matahari siang, kami sering berhenti sejenak di pinggir jalan untuk menikmati segarnya air kelapa es. Momen-momen kecil seperti ini terasa begitu berarti, menjadi jeda di tengah kesibukan.

Foto bersama teman teman kelompok 16 saat ingin kembali ke jogja

Namun, tak semua pengalaman semanis itu. Ada satu hari yang masih membekas di ingatanku. Hari itu, aku memutuskan untuk melanjutkan solo mapping di sebuah jalur perbukitan yang tampak seperti labirin. Aku merasa percaya diri karena membawa kompas dan aplikasi Avenza di ponselku. Dengan itu, aku yakin bisa kembali meski medan tampak rumit.

Namun, keyakinan itu memudar ketika aku mulai kehilangan arah. Berkali-kali aku memeriksa peta di aplikasi, tetapi jalur yang seharusnya ada tidak kunjung kutemukan. Semakin lama aku berjalan, semakin besar rasa cemas menyelimuti. Di tengah keputusasaan, aku berhenti sejenak, memejamkan mata, dan berdoa kepada Tuhan. Aku memohon petunjuk agar bisa keluar dari situasi ini.

Doaku terjawab ketika seorang ibu tiba-tiba muncul dan menyapaku. Ia bertanya aku ingin ke mana, lalu dengan arahannya, aku berhasil menemukan jalan keluar. Meski lega, rasa heran tetap menyelimutiku. Bukit itu begitu sunyi, dan aku merasa tidak bertemu siapa pun sebelumnya. Ke mana ibu itu pergi setelah mengarahkanku? Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku.

Namun, kejadian aneh tak berhenti di sana. Dalam perjalanan kembali ke basecamp, motor yang kukendarai tiba-tiba mati tanpa sebab. Di saat yang sama, seekor gagak hitam terbang rendah, melintas di depanku, membuat suasana semakin mencekam. Sesampainya di basecamp, aku menceritakan pengalamanku kepada teman-teman. Salah satu dari mereka, yang keluarganya memiliki kemampuan indra keenam, mengatakan bahwa kawasan yang kulewati diyakini sebagai “kerajaan siluman.”

Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Pulau Sumatra, aku tak pernah menyangka akan mengalami hal semacam ini. Kepercayaan akan hal-hal mistis tidak pernah menjadi bagian dari keseharianku. Namun, pengalaman ini memberiku pelajaran berharga. Pepatah bijak, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” menjadi pengingat bahwa penting untuk menghormati tradisi dan keyakinan lokal di mana pun kita berada.

Pengalaman ini mengubah caraku memandang perjalanan. Setiap langkah di lapangan tidak lagi sekadar menapaki jalur pemetaan, tetapi juga menghormati alam dan kisah yang melekat di dalamnya. Pengalaman ini mengajarkan bahwa perjalanan bukan hanya soal menemukan arah atau menandai peta, tetapi juga menyelami kekayaan tradisi, menerima keunikan, dan menyadari bahwa ada banyak hal di dunia ini yang tak selalu bisa dijelaskan dengan logika semata.

Kisah tentang travertin yang unik, labirin perbukitan yang misterius, hingga kejadian-kejadian tak terjelaskan hanyalah secuil dari dinamika perjalanan ini. Namun, semuanya telah menjadi bagian dari cerita yang mendewasakan. Setiap langkah adalah pelajaran, setiap peristiwa adalah misteri, dan setiap detik adalah rasa syukur yang menanti untuk ditemukan.

Dewi Indah Kusuma Sari | Desember 2024