Penulis: Anindito Hafizh Akyela Nugroho
Setelah melewati kegiatan yang jika diberi pilihan untuk mengulang atau tidak, pasti Saya akan pilih tidak. Kegiatan tersebut adalah Kuliah Lapangan di Bayat, karena kenangan dan hal yang terjadi di Bayat, tetaplah di Bayat.
Dari atas kiri ke kanan atas : Andika Kusuma B, Dagma Nayotama, Riza Edria Y, Saya (Anindito H Akyela Nugroho), Pascalis Devin R, M Arief Al Hakeem. Dari bawah kiri ke kanan : Bima Henrisyah P, Caesar Ahmad Sya’dan, Desyan Amadio P (Sumber : diambil dari kamera Rizqa Awalinda)
Setelah dua hari beristirahat, para mahasiswa kembali melanjutkan kegiatan kuliah lapangan (KL). Kali ini, Kami perlu mempersiapkan tenaga ekstra karena pemetaan dilakukan secara mandiri di area berukuran 4×5 meter, yang dikenal sebagai kaveling. Setiap mahasiswa mendapat nomor kavling berdasarkan undian yang telah dilakukan di awal semester 4. Kegiatan ini telah dipersiapkan sebelumnya oleh panitia mahasiswa yang dibentuk pada semester sebelumnya. Panitia tersebut bertugas mengurus perizinan dengan pihak-pihak terkait, seperti Kepala Perhutani, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, serta Kepala Daerah setempat, untuk memastikan kegiatan KL berjalan lancar. Selain belajar teknik pemetaan, kegiatan ini juga memberikan pengalaman berorganisasi dan memahami proses birokrasi.
Setelah semua surat izin diterbitkan, dokumen tersebut harus disampaikan kepada Kepala Kecamatan dan Kepala Desa. Saya, Anindito Hafizh Akyela Nugroho, kebetulan mendapatkan kavling nomor 3 yang terletak di Desa Padas dan sekitarnya. Kavling nomor 3 ini terletak di Kecamatan Kedungjati dan Juwangi, Kabupaten Boyolali dan Grobogan.
Kondisi Jalan di Desa Padas (sumber : https://x.com/InfoKedungjati/status/763215179068772352/photo/2 )
Masyarakatnya hidup dalam kesederhanaan dan mengandalkan hasil perkebunan seperti jagung dan padi untuk kebutuhan sehari-hari. Pada zaman kemerdekaan, daerah pemetaan Saya ini pernah masuk dalam daerah kekuasaan Belanda, pada saat Agresi Militer ke-1. Tentara Belanda memasuki wilayah Jawa melalui jalur laut dengan memanfaatkan dukungan pasukan Sekutu. Sebagian dari mereka dikirim ke wilayah Salatiga dan Ambarawa untuk memperkuat pertahanan. Tentara Belanda dari Jepara dan Kudus bergerak menuju Salatiga dan Ambarawa melalui Kedungjati. Sebagai response, pasukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) menjadikan Jembatan Tuntang di Desa Kentengsari sebagai basis pertahanan terdepan. Menyadari keunggulan persenjataan musuh, pasukan BKR menghancurkan jembatan kayu di Sungai Tuntang menggunakan trek bom. Langkah ini bertujuan untuk menghambat truk pasukan Belanda agar tidak dapat melintasi sungai dan menyerang pertahanan di sisi selatan.
Pada suatu ketika, pasukan BKR melakukan upaya pencegahan terhadap tentara Belanda yang bergerak dari arah utara. Pertempuran ini terjadi di Jembatan Turunan, dekat pintu masuk Desa Kedungjati. Namun, karena keterbatasan persenjataan, pasukan BKR terpaksa mundur ke Desa Kentengsari. Tentara Belanda kemudian melakukan pengejaran hingga ke wilayah utara Sungai Tuntang. Beberapa anggota BKR yang terlambat menyeberangi sungai menjadi sasaran tembakan dan gugur di tempat. Jasad para pejuang yang gugur itu terbawa arus Sungai Tuntang. Setelah situasi mereda, tentara BKR yang selamat, dengan bantuan warga, mencari rekan-rekannya yang gugur. Jasad para pejuang tersebut ditemukan di sekitar aliran sungai dekat Desa Padas. Melihat kondisi pertempuran, jasad para tentara BKR yang ditemukan di Desa Padas dimakamkan di pemakaman umum desa setempat. Sementara itu, pejuang yang gugur di dekat pasar Kedungjati dimakamkan oleh warga di lokasi di sebelah barat pinggir jalan. Pada tahun 1950-an, Pemerintah Kabupaten Grobogan memutuskan untuk memindahkan jenazah para pejuang yang sebelumnya dimakamkan di Desa Padas ke sebuah lokasi di sebelah utara Pasar Kedungjati. Tempat tersebut kemudian ditetapkan sebagai Taman Makam Pahlawan. Sebagai penghormatan, warga Desa Padas mendirikan sebuah tugu peringatan di pertigaan desa untuk mengenang jasa para pejuang yang pernah dimakamkan di desa tersebut.
Tugu Pahlawan Padas (Sumber : Google Maps )
Tanah dengan litologi dominan batupasir lapuk dan napal yang bertekstur seperti kapur sudah menjadi makanan sehari – hari Saya jika ingin memasuki daerah kavling pemetaan. Pemetaan geologi di Desa Padas dan sekitarnya, Saya mulai dengan rutinitas pagi yang sederhana namun penuh semangat. Setiap hari, Saya bangun pukul 8 pagi, bersiap-siap, dan menikmati sarapan bersama di basecamp atau membeli sarapan di warung dekat basecamp. Setelah itu, Saya memulai kegiatan lapangan pada pukul 9 pagi. Dengan peralatan lengkap, Saya menjelajahi area pemetaan, mencatat litologi yang ditemukan, struktur geologi, serta mengumpulkan data lainnya hingga pukul 3 sore. Setelah selesai di lapangan, Saya kembali ke basecamp untuk beristirahat sejenak. Sore hingga malam hari, biasanya Saya habiskan untuk merekap dan menganalisis data yang diperoleh. Diskusi kecil sering terjadi, baik untuk mengevaluasi hasil kerja maupun menyusun rencana untuk hari berikutnya. Rutinitas ini tidak hanya memberikan pemahaman mendalam tentang geologi di kavling Saya saja, tetapi juga membangun kedisiplinan, kerja sama, dan ketelitian dalam bekerja.
Situasi di lapangan (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Fasilitas di daerah pemetaan jauh dari kata baik. Jalan masih banyak yang belum teraspal dengan baik sehingga menyulitkan masyarakat di sana untuk melakukan mobilisasi ke dusun lain. Oleh karenanya, masyarakat daerah sekitar kebanyakan menggunakan sepeda motor kopling/non matic/manual karena sepeda motor matic tidak terlalu direkomendasikan oleh warga sekitar.
Pemetaan ini sangatlah berkesan bagi Saya pribadi, sebab Saya bisa belajar bagaimana menerapkan 5S yang sesungguhnya, mengagumi keindahan alam, mengenali tiap budaya, semua terkemas dalam satu wadah. Di hari terakhir, meski berat meninggalkan basecamp yang sudah ditempati layaknya rumah sendiri selama bulan, namun tidak berarti semua kenangan akan berakhir. Padas dan sekitarnya tetap menyimpan cerita yang menyenangkan bagi seorang mahasiswa dengan kecintaannya kepada hal – hal baru dan alam.
Dewi Indah Kusuma Sari | Desember 2024