Sesar Aceh merupakan bagian paling utara dari Great Sumatran Fault (GSF) yang tidak memiliki jejak gempa bumi selama 170 tahun terakhir. Sesar ini memiliki panjang 250 km yang hadir sebagai sesar tunggal. Menurut pusat studi gempa nasional, Sesar Aceh terbagi menjadi tiga segmen yaitu Aceh Utara, Aceh Tengah, dan Aceh Selatan dengan maksimum magnitudo 6,7; 7,2; dan 7,6. Sesar Aceh dapat diidentifikasi melalui kenampakan topografi dari DEMNAS yang ditunjukan oleh kelurusan yang melewati relief rendah Banda Aceh, sampai ke lepas pantai dan bergabung dengan Sesar Andaman Nicobar. Deformasi yang terjadi pada area di sekitar Sesar Aceh didominasi oleh subduksi lempeng samudra Indo-Australia dengan lempeng Benua Eurasia dengan kecepatan sekitar 70 mm/tahun. Subduksi ini dikenal sebagai zona Subduksi Sunda. Apabila GSF dianggap sebagai sesar tunggal yang mengakomodasi trench-parallel slip pada subduksi Sunda, dengan slip rate 40 – 60 mm/tahun, maka sesar ini sebagai sesar dengan pergerakan tercepat di dunia.
Studi mengenai Sesar Aceh jarang sekali ditemukan. Namun pada tahun 2024, Marliyani dkk. (2024) melakukan studi mengenai Sesar Aceh untuk mengidentifikasi bukti adanya rekahan permukaan di masa lalu, mengidentifikasi karakteristik geomorfologi dan tatanan tektonik, serta menilai apakah Sesar Aceh berpotensi untuk dijadikan situs paleoseismik. Studi ini dilakukan dengan menentukan lateral offset menggunakan data DEM dengan resolusi 8-m dari DEMNAS dan resolusi 15- cm dari UAV drone di beberapa situs. Kemudian dilakukan pemetaan beberapa fitur geomorfologi yang mencirikan adanya lateral displacement di sepanjang Sesar Aceh, seperti pada morfologi channel dan punggungan bukit.
Berdasarkan hasil studi Marliyani dkk. (2024) didapatkan bahwa sepanjang 200 km Sesar Aceh, terdapat 35 offset yang dapat diukur. Sesar yang berada di topografi lembah memiliki stasiun titik amat lebih banyak dibandingkan dengan sesar yang dijumpai pada morfologi pegunungan. Ditinjau dari data morfologinya, sesar dibatasi oleh daerah pegunungan dan lembah yang dapat mempengaruhi keberadaan displacement lateral. Selain itu, kondisi iklim di indonesia dapat menyebabkan hilangnya offset yang menunjukan adanya displacement fault.
Studi ini menghasilkan data slip rate yang dapat dijadikan bukti bahwa Sesar Aceh masih aktif, sehingga dapat menimbulkan bahaya seismik di wilayah sepanjang Sesar Aceh termasuk kota Banda Aceh. Kelanjutan dari studi ini dapat diimplementasikan pada kajian paleoseismik sebagai data pendukung pengembangan model maksimum magnitudo dan model perulangan gempa bumi pada sesar. Diharapkan adanya penelitian mengenai Sesar Aceh, dapat membantu tercapainya SDGs nomor 11 yaitu kota dan permukiman yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan hasil dari penelitian mencakup indikator manajemen bencana, pengurangan resiko bencana, strategi bencana, dan gempa bumi.
Anggita Yashahila | Desember 2024
Daftar Pustaka
Marliyani, G. I., Klinger, Y., Hady, A. K., Setianto, A., Helmi, H., Kurniawan, T., Kambali, R. A. P., Sugito, Z., Jihad, A., Setiawan, Y., Rusdin, A. A., Rohadi, S., Triyono, R., & Karnawati, D. (2024). Exploring Aceh Fault Zone for Slip Rates and Paleoseismic Trenching Potential along Sumatran Fault. Indonesian Journal of Geography, 56(1), 138–148. https://doi.org/10.22146/IJG.93456
Artikel lengkap dapat diakses melalui https://doi.org/10.22146/IJG.93456