Penulis: Nicky Dewi Satriani
Bagi Mahasiswa Teknik Geologi tahun kedua Universitas Gadjah Mada, liburan semester adalah suatu hal yang tidak akan mungkin bisa dilakukan. Disaat mahasiswa dari jurusan lain merencanakan kegiatan apa saja yang akan mereka lakukan pada liburan nanti, mahasiswa Teknik Geologi justru diharuskan menghadapi salah satu fase terpenting dalam dunia akademik Teknik Geologi yaitu Kuliah Lapangan Geologi. Kegiatan ini tidak menjadi agenda utama dalam kalender akademik, tapi juga menjadi agenda yang sering dianggap sebagai momok.
Mengapa dilaksanakan ketika liburan?
Pelaksanaan Pemetaan Geologi di masa liburan bukan dibuat tanpa alasan. Waktu ini dipilih agar tidak mengganggu jadwal kuliah yang padat, dan juga praktikum tentunya. Selain itu kuliah lapangan dilakukan dalam waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar 2 minggu atau lebih sehingga akan sulit jika diselipkan atau dilakukan bersamaan di tengah semester aktif.
Realita Pemetaan : Hectic dan Melelahkan
Bagi yang belum pernah mengalami, mungkin bingung ketika membayangkan bagaimana kuliah lapangan itu dilakukan. Sebagai gambaran, biasanya mahasiswa akan berangkat pagi dan melalui jalan yang jauh dari kata bagus, berkelana masuk ke kebun, ladang, bahkan hutan untuk mencari singkapan dan merekam data yang ada, serta dilakukan pengambilan sampel. Lokasi singkapan seringkali berada pada daerah yang terpencil dan dengan akses yang sulit, terlebih cuaca yang sangat panas membuat tubuh mudah terkena dehidrasi. Pengambilan data akan dilakukan hingga sore hari.
Malam harinya, jangan berpikir akan digunakan untuk istirahat karena mahasiswa harus merekap semua data yang telah diambil, mengkorelasikan dengan data-data baik data sekunder atau data yang telah diambil di hari sebelumnya untuk dilakukan korelasi, serta harus membuat rencana mengenai pemetaan yang akan dilakukan esok hari. Hal tersebut dilakukan setiap hari selama lebih dari 20 hari. Tentunya banyak tenaga dan keringat yang terkuras, maka dari itu Pemetaan Geologi sering dianggap sangat melelahkan.
Daerah Pemetaan : Bukit tapi Landai
Daerah yang dipetakan oleh penulis berada di Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Ngawi, dimana lokasi ini didominasi oleh morfologi yang cenderung landai. Satuan geomorfologi daerah pemetaan terbagi menjadi tiga, yaitu Satuan perbukitan terdenudasi sedang, Satuan punggungan zona sesar, dan Satuan perbukitan lipatan. Kelerengan maksimal pada kavling sebesar 16°. Nilai dan kelerengan yang cenderung landai, pastinya akan banyak yang bertanya-tanya, “Perbukitan tapi kok landai?” seperti yang ditanyakan kebanyakan orang-orang awam. Keduanya memang kontradiktif, bukit yang seharusnya memiliki kelerengan yang lebih tinggi, tetapi di daerah pemetaan justru memiliki kelerengan yang landai. Hal tersebut dapat terjadi karena dulunya, morfologi pada daerah pemetaan memang perbukitan yang diakibatkan oleh gaya kompresi sehingga terlipat membentuk bukit-bukit. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pasti akan terjadi erosi. Kebetulan tingkat erosi pada daerah pemetaan tergolong tinggi sehingga bukit-bukit yang ada tererosi menyisakan morfologi yang cenderung landai.
Gambar 1. Satuan perbukitan terdenudasi sedang
Medan yang Menipu : Awal dari Malapetaka
Meski berada pada daerah yang landai, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal yang sangat dihindari bagi pengendara, yaitu bocornya ban. Pada hari pertama pemetaan tidak langsung dilakukan pengambilan data, tetapi yang dilakukan adalah berkeliling untuk mengetahui gambaran mengenai kavling pemetaan sekaligus untuk mengurus perizinan ke instansi terkait. Baru beberapa kilometer memasuki area pemetaan, ban motor yang digunakan mengalami kebocoran akibat melintasi batu-batu yang tajam sepanjang perjalanan. Peristiwa tersebut menjadi peringatan bahwa pemetaan yang dilakukan kedepannya tidak akan semudah yang dibayangkan.
Hari-Hari Berikutnya : Bengkel menjadi Rutinitas
Seiring berjalannya waktu tantangan semakin berat. Medan yang terus memberikan tekanan pada motor meskipun landai, memicu berbagai masalah teknis. Mulai dari overheating mesin akibat medan yang berat memaksa mesin bekerja diluar kapasitas normalnya, suspensi ambles akibat beban ganda dari medan yang buruk menyebabkan motor menjadi kewalahan, atau bagian bawah motor terlepas akibat tersangkut pada sisa pohon yang ditebang, serta mesin motor yang rusak sehingga motor tidak dapat berjalan. Kondisi tersebut menyebabkan bengkel menjadi tempat “persinggahan wajib” setelah kegiatan pemetaan. Mahasiswa tidak hanya dihadapkan dengan data pemetaan, tetapi juga harus berjibaku dengan mekanik untuk memastikan motor tetap aman setiap harinya. Efek jangka panjangnya, setelah berminggu-minggu bertempur dengan medan yang berat, motor tidak akan berfungsi normal seperti sedia kala. Bahkan ketika telah selesai pemetaan dan motor digunakan pada jalan yang cukup halus, kondisi motor tidak akan sebaik sebelumnya.
Gambar 2. Kondisi motor ketika pemetaan
Kenangan : Cerita dibalik Kesulitan
Meski melelahkan, Pemetaan Geologi sebenarnya merupakan pengalaman yang berharga, mahasiswa tidak hanya mendapatkan pengalaman praktis dan teoritis, tetapi juga mengasah skill dan bakat. Selain itu kuliah lapangan juga menciptakan kenangan yang lucu dan tak terlupakan. Ketika pemetaan, mahasiswa seringkali dianggap sebagai polisi hutan atau petugas Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perhutani, dianggap sebagai petugas sensus, bahkan pernah dianggap sebagai tukang paralon oleh anak-anak karena mereka melihat tongkat Jacob yang selalu dibawa ketika pemetaan. Semua cerita tersebut akan selalu teringat dan menjadi suatu kenangan yang tak akan terlupakan.
Penutup : Motor, Geologist, dan Medan Mematikan
Pemetaan geologi di daerah pemetaan yang cenderung landai dan tidak membahayakan ternyata dapat menjadi boomerang bagi mahasiswa. Meski penuh tantangan, Pemetaan Geologi menjadi bagian yang tidak akan terpisahkan dari proses pembelajaran bagi mahasiswa Teknik Geologi. Dibalik cerita huru-hara permotoran ini, terdapat kenanga dan Pelajaran yang membentuk karakter tahan banting dan tidak mudah menyerah. Satu hal yang pasti: Motor yang telah berjuang bertempur dengan daerah pemetaan, akan menjadi saksi bisu kerja keras dan perjuangan sang geologist.
Dewi Indah Kusuma Sari | Desember 2024