Penulis: Elroy Nathanael Butar Butar
Hari libur yang seharusnya menjadi hak setiap mahasiswa pada akhir semester 4, tidaklah berlaku untuk mahasiswa Teknik Geologi, di mana setiap mahasiswa Teknik Geologi diharuskan untuk melaksanakan kegiatan Kuliah Lapangan atau disingkat KL. Kuliah Lapangan adalah kegiatan pembelajaran, atau kuliah yang dilakukan di lapangan. KL terbagi dua yaitu KL mandiri dan KL kelompok. KL kelompok tentunya, dilaksanakan di Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Banyak mahasiswa geologi yang tentunya takut menghadapi KL Kelompok, tetapi bagi saya KL kelompok lebih seru dibandingkan KL mandiri, sedangkan KL mandiri dilaksanakan pada Zona Fisiografis Kendeng, berdasarkan van Bemmelen 1949. Kegiatan pada Kuliah Lapangan Mandiri mencakup melintasi suatu rute yang telah ditentukan, dan pemetaan mandiri.
Pada hari pertama, tanggal 2 juli 2024, kami diberangkatkan oleh pak Dr.Eng. Ir. Agung Setianto, S.T., M.Si., IPM yang memberi masukan dan wejangan tentang kuliah lapangan. Perjalanan dari Yogyakarta sampai ke Bayat memerlukan waktu sekitar 1 jam 30 menit. Mahasiswa berkumpul di Tugu Teknik pada jam 6.30 pagi, dan berangkat pada 7.30. Setelah 1 jam 30 menit di bis dengan penuh antisipasi, akhirnya sampai juga di tempat perjanjian, yaitu Stasiun Lapangan Geologi Prof. Soeroso Notohadiprawiro.
Tiada angin dan tiada hujan, tanpa peringatan rupanya pada hari pertama langsung dilakukan perjalanan melintasi Jiwo Timur. Tidak ada waktu untuk “settling in” ke rumah baru selama 10 hari kedepan, ke kamar mandi saja tidak sempat, turun dari bis, barang-barang dimasukkan ke lobi dan langsung berangkat. Pada hari pertama, jujur saya kurang siap untuk melakukan trekking, bahkan saya tidak sempat mengeluarkan laptop dari dalam tas, sehingga saya melakukan trekking dengan beban laptop di punggung saya, dan tentunya saya lebih hati-hati dalam melakukan perjalanan, karena jika saya salah langkah saya harus mengucapkan selamat tinggal ke laptop saya.
Sepanjang perjalanan di setiap STA kami menemui dosen yang memberi pematerian terkait STA tersebut, saya mendapat banyak ilmu dan saya makin paham penerapan materi dalam kelas “oh begitu rupanya” ucap saya dalam hati. Hari pertama berjalan dengan biasa saja, dan kemudian kembali ke stasiun lapangan dan melakukan Post-Test dan tentunya tes kemampuan litologi dan struktur, singkat cerita saya remedial tes kemampuan litologi, dan saya merasa biasa saja, cuman tes saja, bayat masih panjang. Hal tersebut dilakukan di hari-hari berikutnya selama 4 hari. Pada hari ke 5 dilakukan pemetaan berkelompok. Entah keberuntungan atau bukan, saya dan kelompok dapat pada daerah Pegunungan Selatan. “Wah kacau ini” ucapku saat melihat kontur yang rapat, dan elevasi yang cukup tinggi. Bagi saya yang tidak terlalu sering olahraga atau naik gunung, ini bukanlah keahlian saya.
Kalau diceritakan satu per satu akan terlalu panjang, tapi saya akan ceritakan momen-momen puncak pada kegiatan pemetaan berkelompok.
Nah pada hari ke 2 pemetaan, kami melihat singkapan batupasir yang sangat kompak, sehingga sangat keras, saking kerasnya saya kira batuan tersebut merupakan batuan beku. Nah disana saya ketemu salah satu kepala desa daerah tersebut, saya jujur lupa nama desanya. Setelah menyapa kepala desa, istrinya, dan anaknya kami melanjutkan tugas seorang geologist yaitu mengambil data. Teman saya berkata “Buat MS (Measured Section) dong”, sehingga kami langsung membuat MS tiba-tiba istri pak kades membawa keluar es teh manis untuk kami bertiga. Kami pun bertanya-tanya kok tiba-tiba diberikan es teh manis, teman saya membuat hipotesis bahwa ketika teman saya bilang “Buat MS” kata MS saat disebutkan mirip dengan teh es, sehingga ibunya memberi kami es teh manis, tapi ini sebatas hipotesis tentunya. Setelah menghabiskan es teh manis kami berterima kasih dan mengucapkan selamat tinggal dan lanjut mencari stasiun titik amat berikutnya.
Setelah pemetaan mandiri selesai, kami menyusun poster sebagai laporan hasil pemetaan berkelompok di Bayat. Setelah itu posternya dibakar, apakah tidak sayang posternya dibakar? tidak juga. Hari jumat tanggal 12 Juli 2024, kami kembali ke Yogyakarta, saya tidur pulas di bis, dan saat sampai kos saya tidur pulas juga.
Tanggal 16 Juli 2024, kelompok saya berangkat ke Desa Guwo, Kecamatan Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Kali ini kami akan melakukan Pemetaan Geologi Mandiri dengan kavling 4×5 km2, saya sudah pernah ke lokasi pemetaan, dalam rangka mempersiapkan basecamp dan perizinan, tapi kali ini rasanya berbeda “this is the real deal”. Desa Guwo relatif kecil dan agak jauh dari kota besar, dengan jalan yang sudah di beton, tetapi menurut saya belum cukup untuk dibilang “aman”, dan ini berdasarkan pengalaman pribadi, pada hari pertama pemetaan saya kecelakaan motor, sebenarnya lumayan parah, tetapi saya masih diselamatkan Tuhan dan lolos dengan cedera yang minim sekali, saya tidak cerita ke siapa-siapa kecuali ibu saya, tetapi teman sekavling saya tahu karena motor saya yang lecet. Kecelakaan pada hari pertama merupakan hambatan yang cukup mengganggu.
Pemetaan tentunya dilakukan dengan cara membuat peta lintasan dan mendirikan STA dan mencatat data yang ditemukan seperti litologi, perlapisan, dan tentunya pengambilan sampel. Pada hari pertama saat saya bertemu kepala desa, saya langsung ditanya “mas, kenapa daerah di sini saat musim kemarau sumurnya kering?” tentunya sekarang saya tahu, karena litologinya yang didominasi oleh lempung, sehingga air tidak diteruskan akibat permeabilitas lempung yang buruk (Akuiklud), tetapi saat saya ditanya saya belum mengambil hidrogeologi, sehingga saya tidak yakin dengan jawaban saya saat itu.
Saat pemetaan, saya bertemu warga yang sangat ramah, dan sangat pengertian terhadap saya yang kurang fasih bahasa jawa, sehingga saya selalu “mohon maaf pak/bu, saya tidak bisa bahasa jawa” dan kemudian melakukan percakapan dalam bahasa Indonesia. 9 dari 10 individu yang bertanya kepada saya akan diawali dengan “Ngapain mas?” dan tentunya saya menjawab “penelitian bu” karena mungkin kata pemetaan kurang familiar di masyarakat, sehingga saya menggunakan kata penelitian, dan akan diikuti “KKN ya mas?” terus saya menjawab “bukan bu, penelitian”, kemudian ditanya lagi “Penelitian apa mas”, saya menjawab lagi “penelitian tentang batuan bu”, nah yang lucunya 9 dari 10 individu tersebut kembali lagi ke pertanyaan “KKN ya mas?” padahal penelitian belum tentu masuk dalam program kerja KKN, sehingga kesabaran lumayan dicoba saat menjawab pertanyaan warga. Tetapi saya sangat bersyukur warga disana sangat ramah
Hal yang menarik pada daerah pemetaan adalah “Kedung Goro” pada daerah saya, yaitu sebuah lubang yang sangat dalam pada suatu sungai, yang menjadi atraksi tersendiri bagi masyarakat sekitar. Saya melakukan pemetaan disana pada musim kemarau, sehingga hampir tidak ada air yang mengalir di sungai tersebut Sebelum menuju Kedung Goro, saya diberitahu oleh masyarakat sekitar bahwa ada korban tenggelam di kedung tersebut, hal tersebut membuat saya penasaran dan saya pun langsung menuju ke sana. Sesampainya di lokasi, saya melihat bahwa sungainya tidak terlalu dalam, ya karena surut, kemudian saya mendekati sungai tersebut dan rupanya ketemu sebuah lubang yang terisi air, saya pun penasaran kedalaman lubang tersebut, sehingga saya mulai mencelupkan tongkat jacob saya.
Gambar..1 Kedung Goro, dalam rupanya (Dokumentasi Pribadi)
Saya pun mulai menurunkan tongkat jacob saya, 1 segmen (0,5 m) telah tercebur, dan belum mencapai dasar, kemudian saya turunkan menjadi 2 segmen, dan masih belum mencapai dasar, hingga tongkat jacob saya sepenuhnya tercebur, masih belum mencapai dasar. Akhirnya saya melanjutkan pemetaan dengan lebih hati-hati di sekitar Kedung Goro, karena bayangkan saja jika palu saya tercebur, saya bisa mengucapkan selamat tinggal pada palu saya.
Jalan desa pada daerah pemetaan, bervariasi kualitasnya, ada yang sudah diaspal, ada pula yang masih beton. Tentunya mayoritas jalan pada pemetaan berupa jalan beton yang terbagi dua (kosong di tengah), ini bukan masalah bagi kendaraan roda 2, tetapi bagi roda 4 ini merupakan masalah besar.
Jalan di kavling pemetaan sudah ada rambu penunjuk arah sederhana yang dibuat oleh masyarakat, tetapi masih ditemukan jalan yang sangat berbahaya seperti pada gambar berikut.
Gambar..2 Jalan di daerah penelitian (Dokumentasi pribadi)
Ada pula jembatan yang ditemukan pada daerah pemetaan terkadang membuat saya tidak yakin untuk membawa kendaraan, contohnya pada gambar berikut.
Gambar .3 Jembatan tipis
Awalnya saya ingin membawa motor saya melintasi jembatan, tetapi perasaan saya tidak enak, akhirnya saya turun dan memeriksa kondisi jembatan, dan hasilnya memprihatinkan
Kondisi air bersih dan kamar mandi pada daerah pemetaan sangat memprihatinkan. Saat saya menyusuri sungai, tidak jarang menemui warga yang sedang mencuci baju, dan mandi di sungai, bahkan ada warga yang melakukan “panggilan alam” di sungai. Warga umumnya pada pagi hari pergi ke sungai untuk mandi dan mencuci, sehingga saya pagi-pagi bila menyusuri sungai umum sekali bertemu dengan warga yang sedang mandi.
Gambar .4 Sungai pada daerah pemetaan, ada aroma terasinya
Pemetaan Geologi secara output berupa poster dan laporan KL, tetapi bagi saya output yang paling berharga adalah pendewasaan diri dalam melihat kehidupan sehari-hari.
-Maybe the real mapping was the friends we made along the way.-
Dewi Indah Kusuma Sari | Desember 2024