Bukit Plawangan, Apakah Berpotensi Sebagai Carbon Storage?

 Isu iklim selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas setiap tahunnya. Perubahan iklim terjadi secara cepat dan signifikan. Hal ini dikarenakan meningkatnya aktivitas deforestasi dan degradasi hutan yang menyebabkan hilangnya hutan hujan tropis sehingga emisi gas rumah kaca meningkat di atmosfer. Menurut kementrian lingkungan hidup dan kehutanan, Indonesia memiliki target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan konservasi hutan untuk membantu mengurangi emisi gas rumah kaca. Konservasi penting dilakukan untuk dapat menjaga ekosistem dan diversitas flora dan fauna serta menjaga kuantitas lahan hutan. Hutan memiliki kapasitas untuk menyerap karbon dan mengurangi emisi karbon di atmosfer sehingga dapat membatasi kenaikan temperatur di permukaan bumi.

Salah satu hutan yang memiliki potensi sebagai penyerap karbon di Provinsi Yogyakarta adalah Bukit Plawangan, yang termasuk dalam kawasan hutan lindung taman nasional Gunung Merapi. Dalam rangka mendukung upaya konservasi sumber daya alam berkelanjutan, perlu dilakukan tinjauan terkait lahan tutupan pada Bukit Plawangan. Langkah utama peninjauan ini adalah dengan melakukan studi analisis perubahan lahan tutupan yang terjadi selama rentang waktu tertentu menggunakan citra satelit landsat 7 sebelum erupsi (2009) dan landsat 8 setelah erupsi (2023). Berdasarkan nilai carbon storage, lahan tutupan terbagi menjadi lima kategori yaitu : non forest (NF) yang memiliki carbon storage 2,5 ton/hektar; open forest (OF) dengan carbon storage 4 ton/hektar; low density Forest (LDF) dengan carbon storage 30 ton/hektar; moderately dense forest (MDF) dengan carbon storage 98,38 ton/ hektar; serta high density forest (HDF) dengan carbon storage 98,84 ton/ hektar. Setelah itu dilakukan perhitungan carbon storage disetiap area dan mengelompokannya berdasarkan kategori.

Diketahui bahwa dalam rentang waktu 2009 – 2023 terjadi peningkatan dan penurunan carbon storage pada Bukit Plawangan, hal ini dikarenakan efek dari perubahan luas lahan tutupan pada setiap kategorinya. Berdasarkan hasil studi Khan dkk. (2024) Bukit Plawangan mengalami peningkatan carbon storage sebesar 26% pada tahun 2009 – 2013. Pada tahun 2013 –  2017 carbon storage semakin meningkat mencapai 35%. Namun pada tahun 2017 – 2023 mengalami penurunan sebesar 18%. Secara  umum perubahan tutupan lahan pada Bukit Plawangan dari 2009 –  2023 didominasi oleh less density forest. Dapat disimpulkan bahwa Bukit Plawangan dapat menjadi carbon storage apabila dilakukan konservasi hutan dan perubahan lahan tutupan menjadi moderately dense forest atau high density forest.

Penelitian mengenai carbon storage ini diharapkan dapat menjadi data pendukung untuk mencapai SDGs nomor 12 yaitu poin konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab yang mana didalamnya terdapat indikator dekarbonisasi mendalam. kemudian nomor 13 yaitu penanganan perubahan iklim yang didalamnya terdapat indikator rumah kaca emisi gas, pemanasan global dan karbon dioksida. terakhir SDGs no 15 yaitu Ekosistem daratan dengan indikator penghijauan, deforestasi, dan tutupan lahan.

Anggita Yashahila | Desember 2024

Daftar Pustaka

Khan, K., Sadono, R., Wilopo, W., and Hermawan, M.T.T., 2024, Development of Land Cover and Carbon Storage in Plawangan Hill of Gunung Merapi National Park, Yogyakarta, Using Landsat Data Series 2009, 2013, 2017, and 2023: Jurnal Manajemen Hutan Tropika, v. 30, p. 107–117, doi:10.7226/jtfm.30.1.107.

Artikel lengkap dapat diakses melalui https://www.scopus.com/record/display.url?eid=2-s2.0-85189904729&origin=resultslist