Analisis dan Evaluasi Zona Rawan Gempa Sebagai Dasar Pengembangan Wilayah

Indonesia terletak di wilayah cincin api Pasifik, yang menjadikannya rentan terhadap berbagai bencana geologi, termasuk gempa bumi. Salah satu wilayah yang sering terkena dampak gempa adalah Kabupaten Bantul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah ini terletak di dekat pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia serta dilalui oleh Sesar Opak, yang aktif dan berpotensi menyebabkan gempa besar. Gempa bumi besar pada 27 Mei 2006, dengan magnitudo 6,4, menyebabkan kerusakan luas di Bantul, termasuk ribuan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang signifikan. Oleh karena itu Nurhaci dkk. (2024) melakukan penelitian untuk menganalisis zona rawan gempa di Kabupaten Bantul berdasarkan model spasial dan mengevaluasi kesesuaiannya dengan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) untuk mendukung perencanaan wilayah yang lebih aman. Penelitian ini menggunakan data primer dari pengamatan mikrotermor untuk menghitung kecepatan gelombang geser rata-rata hingga kedalaman 30 meter (Vs.30) serta percepatan puncak tanah (PGA). Analisis dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pedoman Perencanaan Penataan Ruang di Kawasan Rawan Gempa dan Letusan Gunung Berapi. Data lain yang digunakan meliputi peta geologi, topografi, dan struktur geologi.

indikator zona rawan gempa sebagai mitigasi pengembangan wilayah

Ditinjau dari karakteristik batuannya, Formasi geologi di Bantul meliputi endapan vulkanik muda Gunung Merapi, formasi Sentolo, formasi Wonosari, formasi Sambipitu, formasi Semilir, dan aluvium. Batuan yang lebih keras memiliki stabilitas lebih tinggi terhadap getaran gempa dibandingkan batuan lemah seperti endapan aluvium. Berdasarkan kecepatan gelombang geser (Vs.30), memiliki nilai antara 175–1500 m/s, dengan dominasi nilai 175–350 m/s yang termasuk dalam kategori tanah medium (SD) dan batuan lunak (SC). Nilai ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah memiliki stabilitas sedang hingga rendah. kemiringan lereng juga menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan wilayah dengan lereng curam hingga sangat curam memiliki potensi lebih tinggi terhadap gerakan tanah dan longsoran saat terjadi gempa. Jika ditinjau dari seismisitas, nilai PGA yang lebih tinggi menunjukkan potensi kerusakan yang lebih besar. Peta distribusi PGA menunjukkan daerah dengan risiko gempa terbesar berada di sekitar jalur Sesar Opak. Analisis struktur geologi menunjukkan bahwa jarak dari jalur sesar aktif, seperti Sesar Opak, mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah. Wilayah yang berada kurang dari 100 meter dari jalur sesar memiliki risiko kerusakan tertinggi. Berdasarkan skor yang dihitung dari parameter-parameter tersebut, stabilitas wilayah di Bantul terbagi menjadi kategori stabil dan kurang stabil.

Mitigasi pengembangan wilayah dalam upaya realisasi SDG

Distribusi nilai Vs.30 dan PGA di Kabupaten Bantul menunjukkan bahwa wilayah ini memiliki tingkat kerentanan sedang hingga tinggi terhadap gempa bumi. Perencanaan tata ruang yang sesuai dengan zona rawan gempa dapat mengurangi risiko bencana. Mitigasi diperlukan, khususnya di wilayah yang dekat dengan Sesar Opak, untuk mendukung pengembangan wilayah yang aman dan berkelanjutan. Penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk merealisasikan SDG. Sebagaimana tertulis dalam SDG nomor 11 yaitu kota dan pemukiman yang berkelanjutan yang mana didalamnya terdapat indikator perencanaan pembangunan, manajemen bencana, pengurangan risiko bencana, gempa bumi, dan perencanan kota.

 

Daftar Pustaka

Susri Nurhaci, D., Setianto, A., & Wilopo, W. (2024). Analysis and Evaluation of Earthquake Hazard Zones Based on Spatial Models for Regency Regional Development Bantul. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 1373(1), 012014. https://doi.org/10.1088/1755-1315/1373/1/012014

 

Artikel selengkapnya dapat diakses di https://www.scopus.com/record/display.url?eid=2-s2.0-85204367229&origin=resultslist

 

Anggita Yashahila Rahimah | Desember 2024