Penulis: Farhan Hamid
Desa Janjang terletak di Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Desa ini berada di bagian utara wilayah pemetaan saya, yakni kavling 99, dan termasuk daerah yang cukup menarik, baik dari sisi geologi maupun budayanya. Berdasarkan peta geologi regional, kavling ini mencakup tiga formasi batuan utama, yaitu Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, dan Formasi Mundu. Ketiga formasi ini terbentuk dari lingkungan laut dangkal yang kaya akan sedimen karbonatan, hasil dari proses pengendapan jutaan tahun lalu. Saat pemetaan di sekitar Desa Janjang, saya menemukan beberapa satuan batuan yang menjadi ciri khas daerah ini, seperti batu gamping masif, batu lanau karbonatan dengan sisipan batu gamping, serta perselingan batu gamping. Singkapan batuan ini umumnya terlihat jelas di tepi-tepi perbukitan, beberapa bahkan membentuk lereng terjal yang menandakan ketahanan batuan terhadap pelapukan.
Selain bentang alamnya yang khas, Desa Janjang juga memiliki kekayaan budaya yang masih terjaga kuat hingga sekarang. Salah satu tradisi yang cukup terkenal adalah Sedekah Bumi. Berdasarkan cerita dari warga, tradisi ini mirip dengan suasana lebaran di mana setiap rumah terbuka untuk tamu dan menyajikan hidangan. Bedanya, kalau pada lebaran biasanya hanya disediakan makanan ringan atau camilan, maka pada Sedekah Bumi justru yang disajikan adalah makanan berat dengan jumlah yang melimpah. Mulai dari nasi lengkap dengan lauk pauk tradisional, sayur, hingga aneka olahan daging. Uniknya, Desa Janjang dianggap sebagai “pemimpin tradisi” di wilayah ini karena desa-desa lain tidak akan memulai Sedekah Bumi sebelum Desa Janjang melaksanakannya. Masyarakat percaya bahwa urutan ini adalah warisan dari leluhur, dan sudah menjadi aturan tak tertulis yang dihormati oleh semua desa di sekitarnya.
Kisah mistis juga sangat melekat di Desa Janjang, menjadikannya bukan hanya unik secara geologi dan budaya, tetapi juga secara spiritual. Banyak tokoh yang dianggap memiliki kekuatan dan pengaruh besar secara gaib berasal dari desa ini, termasuk Kyai Mbah Janjang dan Ki Jati Kusumo. Makam keduanya sering menjadi tujuan ziarah bagi masyarakat setempat maupun dari luar daerah, terutama pada hari-hari tertentu yang dianggap memiliki makna khusus. Selain itu, di desa ini terdapat sebuah area di puncak bukit yang dianggap keramat. Lokasi ini dipercaya sebagai tempat bersemedi atau bertapa, dan tidak semua orang diperbolehkan masuk. Area tersebut dijaga secara adat dan hanya bisa dilihat dari kejauhan. Di sekitar kaki dan lereng bukitnya, terlihat singkapan batu gamping masif berukuran besar yang secara ilmiah menarik untuk diteliti, namun secara budaya memiliki nilai sakral yang tidak bisa diabaikan.

Pengalaman lapangan saya di Desa Janjang juga menjadi pelajaran penting. Di awal pemetaan, sebelum mengetahui cerita dari warga, saya sempat mengambil sampel batuan dari dekat area tersebut untuk melengkapi data pemetaan geologi. Namun, setelah berbincang dengan warga, saya diberi tahu bahwa sebaiknya tidak mengambil barang atau batu dari daerah itu karena diyakini bisa membawa hal-hal yang tidak diinginkan. Warga menganggap area tersebut sebagai tempat yang “dijaga” oleh kekuatan tak kasat mata, sehingga mengambil apapun dari sana dianggap mengganggu keseimbangan. Sejak mengetahui hal itu, saya memilih hanya melakukan pengamatan dari pinggir area, tanpa melangkah masuk. Situasi ini mengingatkan saya bahwa dalam pemetaan geologi, kita tidak hanya berhadapan dengan kondisi fisik dan data teknis, tetapi juga harus menghormati kearifan lokal, tradisi, dan keyakinan masyarakat.
Dengan perpaduan antara kekayaan geologi, tradisi yang kental, dan cerita mistis yang masih hidup hingga kini, Desa Janjang menjadi salah satu wilayah yang unik dan berkarakter kuat. Di sini, batuan tidak hanya menjadi objek penelitian, tetapi juga bagian dari sejarah dan identitas desa. Tradisi Sedekah Bumi yang sarat makna kebersamaan, keberadaan tokoh-tokoh spiritual, hingga area keramat di puncak bukit menjadikan desa ini memiliki daya tarik tersendiri. Desa Janjang adalah contoh nyata bagaimana alam dan budaya saling berinteraksi, saling melengkapi, dan menciptakan keunikan yang tak hanya menarik bagi peneliti, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin memahami hubungan antara manusia, tanah, dan warisan leluhur.
Humas Departemen | Oktober 2025