Eksplorasi geothermal menghadirkan tantangan unik, terutama dalam mendeteksi dan memetakan area alterasi hidrotermal secara remote. Salah satu teknologi penginderaan jarak jauh, yaitu LiDAR (Light detection and Ranging) atau laser scanning, menawarkan solusi untuk menghasilkan data presisi tinggi yang dapat digunakan untuk memahami kondisi manifestasi permukaan yang menggambarkan kondisi bawah permukaan. Sebuah studi terbaru oleh dosen Teknik Geologi UGM, Yan Restu Freski, memanfaatkan potensi LiDAR sebagai alat untuk melakukan pemetaan alterasi hidrotermal di daerah prospek panas bumi di Bajawa, Flores, Indonesia.
Pulau Pisang, sebuah pulau kecil dengan luas sekitar 1,5 km², terletak di Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Pulau ini berbatasan langsung dengan Samudera Hindia di bagian barat dan selatan serta Pulau Sumatera di bagian utara dan timur. Selain pulau ini juga menjadi tempat tinggal bagi 1626 penduduk, Pulau Pisang memiliki potensi yang besar sebagai destinasi wisata dengan keindahan pantai, kegiatan memancing, dan pesona alam lain. Akan tetapi, peningkatan jumlah penduduk sekitar 3% per tahun dan potensi pengembangan wisata menimbulkan peningkatan permintaan terhadap sumber daya air.
Batang Integrated Industrial Park (BIIP) yang berlokasi di Ketanggan, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, merupakan kawasan industri terpadu dengan luas ±4.300 hektare. Sebagai kawasan yang sedang mulai berkembang, kebutuhan air di kawasan ini menjadi prioritas utama. Diperkirakan kebutuhan air di kawasan industri ini mencapai 18–67 m³/ha/hari, sehingga menjadikan air tanah sebagai kebutuhan yang penting.
Dalam memanajemen eksploitasi air tanah dibutuhkan pemahaman terkait potensi dan kualitas air tanah dalam rangka memastikan potensi dan kualitas air tanah dalam keberlanjutan sumber daya ini. Hal ini yang menjadi alasan Widyatama dan Prof. Wahyu Wilopo untuk melakukan penelitian terkait identifikasi geologi bawah permukaan, sistem akuifer, dan sifat fisika dan kimia air tanah di BIIP dengan pemetaan permukaan dan survei geolistrik. Metode tersebut digunakan untuk identifikasi lapisan bawah tanah dengan mengukur resistivitas batuan yang menunjukkan potensi akuifer. Selain itu sifat fisika dan kimia yang diukur yaitu suhu, pH, total padatan terlarut (TDS), dan konduktivitas listrik.
Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, menghadapi tantangan lingkungan akibat adanya penggunaan air tanah yang tinggi. Salah satu kota pesisir di Sulawesi ini memiliki pertumbuhan penduduk yang pesat. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2024, jumlah penduduk di Makassar mencapai 1.474.393 jiwa. Akibatnya, kebutuhan akan air bersih untuk kegiatan sehari-hari menjadi meningkat pesat. Sebagai kota pesisir, sebagian besar kebutuhan air di Makassar masih bergantung pada air tanah.
Dumoga, salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Utara, telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Sulawesi Utara tahun 2014 hingga 2034. Dalam upaya pengembangan sektor pertanian tersebut, air tanah menjadi sumber utama dalam memenuhi kebutuhan air bersih dan irigasi. Namun, untuk memastikan keberlanjutan penggunaan air tersebut diperlukan kajian yang mendalam mengenai potensi dan kualitas air tanah di Dumoga.
Mahasiswa magister dan dosen Teknik Geologi UGM, Kalo dan Prof. Wahyu Wilopo, melakukan penelitian untuk mengetahui potensi dan kualitas air tanah di Dumoga ini. Penelitian tersebut dilakukan dengan melakukan observasi geologi, pemetaan mata air, survei geolistrik, dan pengukuran sifat fisik dan kimia air tanah. Parameter yang digunakan dalam pengukuran sifat fisik dan kimia yaitu suhu, pH, total padatan terlarut (TDS), dan konduktivitas (EC).
Kaldera Maninjau, terletak di Provinsi Sumatera Barat, menjadi saksi letusan paling dahsyat dalam sejarah Indonesia. Sekitar 52 ribu tahun yang lalu, letusan ini berhasil menciptakan sebuah kaldera besar dengan volume material yang terlontar mencapai 220–250 km³, sehingga menjadikannya salah satu dari tiga letusan kaldera terbesar di Indonesia. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa letusan ini dipicu oleh adanya interaksi yang kompleks antara beberapa kantong magma yang berbeda. Hal ini tentunya akan menambah pemahaman tentang sistem magmatik yang memicu letusan-letusan besar.
Air tanah menjadi sumber utama untuk irigasi di sektor pertanian. Salah satunya yaitu cekungan air tanah Ponorogo-Ngawi yang merupakan wilayah strategis yang memiliki potensi air tanah yang melimpah. Cekungan ini mencakup area seluas 3.902 km², meliputi tujuh kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, penggunaan air tanah yang tidak terkendali telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penurunan kualitas dan kuantitas air tanah. Pemanfaatan air tanah tanpa perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan yang memadai dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, seperti penurunan muka air tanah, intrusi air laut, dan kerusakan ekosistem lokal. Oleh karena itu pentingnya memahami konsep kerentanan akuifer yang dapat memberikan pendekatan yang penting untuk memahami risiko terhadap kualitas dan kuantitas air tanah. Kerentanan ini mencakup kemampuan zona tidak jenuh untuk melindungi air tanah dari pencemaran. Dalam konteks ini, diperlukan analisis zonasi kerentanan air tanah yang memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Penelitian mengenai cekungan air tanah Ponorogo -Ngawi dilakukan oleh Septiani dkk. (2024) dengan tujuan untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang zona kerentanan air tanah di wilayah penelitian, serta memberikan dasar bagi pengelolaan sumber daya air tanah yang berkelanjutan.
Indonesia terletak di wilayah cincin api Pasifik, yang menjadikannya rentan terhadap berbagai bencana geologi, termasuk gempa bumi. Salah satu wilayah yang sering terkena dampak gempa adalah Kabupaten Bantul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah ini terletak di dekat pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia serta dilalui oleh Sesar Opak, yang aktif dan berpotensi menyebabkan gempa besar. Gempa bumi besar pada 27 Mei 2006, dengan magnitudo 6,4, menyebabkan kerusakan luas di Bantul, termasuk ribuan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang signifikan. Oleh karena itu Nurhaci dkk. (2024) melakukan penelitian untuk menganalisis zona rawan gempa di Kabupaten Bantul berdasarkan model spasial dan mengevaluasi kesesuaiannya dengan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) untuk mendukung perencanaan wilayah yang lebih aman. Penelitian ini menggunakan data primer dari pengamatan mikrotermor untuk menghitung kecepatan gelombang geser rata-rata hingga kedalaman 30 meter (Vs.30) serta percepatan puncak tanah (PGA). Analisis dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pedoman Perencanaan Penataan Ruang di Kawasan Rawan Gempa dan Letusan Gunung Berapi. Data lain yang digunakan meliputi peta geologi, topografi, dan struktur geologi.
Sumber daya air merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berperan penting dalam menunjang kehidupan dan aktivitas sehari-hari, terutama untuk kebutuhan domestik, irigasi, dan industri. Ketersediaan air yang semakin terbatas akibat pertumbuhan populasi dan perubahan iklim memerlukan pengelolaan yang berkelanjutan, terutama di wilayah-wilayah dengan potensi kekeringan musiman seperti Pulau Lombok. Bendungan Pandanduri, yang terletak di Desa Suwangi, Kecamatan Sakra, Lombok Timur, merupakan infrastruktur penting untuk memenuhi kebutuhan irigasi di daerah tersebut. Selain sebagai sumber irigasi, wilayah ini juga merupakan bagian dari cekungan air tanah (CAT) Mataram–Selong, yang menjadi sumber air utama bagi masyarakat di sekitarnya. Sistem hidrogeologi di sekitar Bendungan Pandanduri sangat dipengaruhi oleh kondisi geologi dan geomorfologi wilayah tersebut. Kombinasi batuan vulkanik dan aluvial di kawasan ini memungkinkan pembentukan akuifer yang dapat menyimpan dan mendistribusikan air tanah. Namun, pemahaman mendalam mengenai pola aliran air tanah, kondisi akuifer, dan sifat geologi bawah permukaan di daerah ini masih terbatas. Oleh karena itu, Mararis dkk. (2024) melakukan penelitian yang bertujuan untuk memahami pola aliran air tanah dan distribusi akuifer di area tersebut.
Kawasan Trowulan yang terletak sekitar 10 km di barat daya Kota Mojokerto, Jawa Timur, dipercaya sebagai pusat Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 hingga 15 Masehi. Banyaknya temuan artefak dan struktur bangunan yang berada dalam kondisi rusak dan terkubur, memunculkan dugaan bahwa bencana geologi memiliki peran dalam kemunduran dan penguburan kota ini. Oleh karena itu, Putra dkk. (2024) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis bencana geologi yang terjadi di masa lalu di kawasan Trowulan berdasarkan data stratigrafi dan granulometri dari lapisan pengubur di beberapa situs utama, seperti Kumitir, Kedaton, dan Minakjinggo. Studi ini juga mencoba menentukan periode terjadinya bencana melalui korelasi antara data geologi dan catatan tertulis masa Majapahit.