Penulis : Ni Luh Ayu Kamilla Rahmawati
Kuliah Lapangan Geologi merupakan sebuah jembatan antara teori dan realita, di mana peta, kompas, dan batuan menjadi bahasa sehari-hari. Di sanalah kami belajar membaca jejak bumi yang tertulis di setiap lapisan batuan, sekaligus mengerti bahwa ilmu ini bukan hanya untuk kepuasan akademik, tetapi juga untuk keberlanjutan hidup. Melalui kegiatan ini, kami ikut belajar untuk menapaki cita-cita Sustainable Development Goals (SDGs) Fakultas Teknik: menjaga bumi, memberdayakan masyarakat, mengelola sumber daya dengan bijak, dan membangun masa depan yang selaras antara manusia dan alam. Kuliah lapangan menjadi wujud nyata bagaimana pendidikan dan pengabdian dapat berjalan seiring, selaras, dan saling menguatkan.

Pada Kuliah Lapangan Geologi, setiap mahasiswa akan diberikan kavling penelitian seluas 20 km²—bidang kecil di peta, tetapi sangat luas untuk kaki melangkah. Kawasan itu tersebar di zona Rembang, salah satunya Kavling 83 yang menjadi kanvas geologi penuh warna. Di sana, Formasi Ngrayong menghadirkan pasir kuarsa yang berbisik tentang lingkungan pesisir purba, Formasi Bulu dengan batugampingnya yang putih bersih bercerita tentang laut dangkal yang pernah berkilau di bawah matahari jutaan tahun lalu. Formasi Wonocolo menyimpan serpih dan batupasir sebagai arsip sedimen laut yang tenang, sedangkan Formasi Ledok membawa kami ke dunia batulempung berlapis yang pernah menjadi dasar samudra. Formasi Mundu, dengan batugamping berlapis, melengkapi kisahnya, seolah bumi ingin memastikan kami tak melewatkan satu pun bab dari sejarah panjangnya.
Dusun Tawum yang terletak di Desa Kumpulrejo, kami pilih untuk tempat kami menetap—rumah yang menjadi pusat cerita, tawa, dan kehangatan. Di ruang makan yang nyaman, kami berkumpul setiap malam, berbagi cerita apa yang kami lewati di sepanjang hari. Kesederhanaan warga mengajarkan kami satu hal penting: bumi bukan hanya sekumpulan batuan dan lapisan, tetapi juga rumah bagi jiwa-jiwa yang tulus menjaga dan mencintainya. Di sana, kami menemukan bahwa keakraban bisa tumbuh cepat, bahkan di antara orang-orang yang baru bertemu.

Demit, dengan hijaunya persawahan dan ramahnya senyum warga, menyambut kami seolah kami adalah bagian dari keluarganya. Anak-anak berlari di jalan tanah, tertawa kecil saat melihat kami memanggul palu geologi dan peta lusuh. Suara ayam berkokok di pagi hari dan wangi nasi hangat dari dapur penduduk menjadi pengingat bahwa di balik pekerjaan ilmiah, ada kehidupan yang mengalir sederhana namun penuh makna. Dingil, dengan udara paginya yang sejuk dan aroma tanah basah, memberi kami pelajaran lain: bahwa keramahan tak membutuhkan kata-kata yang panjang. Warga di sana selalu membuka pintu dan hati, menawarkan segelas teh manis atau sekadar tempat berteduh ketika hujan deras tiba-tiba datang. Mereka tidak hanya menerima kami sebagai tamu, tetapi sebagai anak yang kembali ke rumah setelah lama pergi.


Kini, setelah semua langkah di sepanjang tanah Tuban telah terhenti, kami pulang membawa lebih dari sekadar data geologi. Kami membawa kisah, senyum, dan kenangan yang akan terus hidup dalam hati. Kuliah Lapangan Geologi 2025 tidak hanya mengajarkan cara membaca batuan, tetapi juga mengajarkan cara membaca manusia, memahami arti kebersamaan, dan menghargai setiap jengkal tanah yang kami pijak. Terima kasih atas segala cerita yang telah kita ukir bersama, warga segorebus!
Humas Departemen | September 2025