
Kunjungan Budaya merupakan salah satu program kerja baru dari Bidang Sosial Masyarakat Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi (HMTG) Universitas Gadjah Mada. Kegiatan perdana ini dilaksanakan pada 23 November 2025 di Candi Kedulan, Sleman, DIY. Desta Renantya dan Lintang Nugrahesti, selaku ketua dan wakil ketua pelaksana, menyusun seluruh rangkaian acara dengan dukungan dari Rafael Sadanioga (Ketua Bidang Sosial Masyarakat HMTG), Raihan Al Muhaimi (Ketua Divisi Sosial HMTG), serta panitia Kunjungan Budaya 2025. Total peserta yang hadir mencapai 155 mahasiswa Teknik Geologi UGM dari berbagai angkatan.
Acara menghadirkan dua narasumber yang juga alumni Teknik Geologi FT UGM, yaitu Irvan Fatarwin Lubis dan Mradipta Lintang Alifcanta Moktikanana. Keduanya kini bekerja di Departemen Teknik Geologi FT UGM. Pada kegiatan ini, keduanya berbagi banyak wawasan mulai dari sejarah kawasan, geomorfologi, hingga petrologi Candi Kedulan.
Narasumber pertama, Irvan Fatarwin Lubis, memulai sesi dengan mengajak peserta memahami mengapa lokasi secara administratif dan geomorfologi sangat penting diperhatikan dalam studi geologi. Mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mengenali batuan dan materialnya saja, tetapi juga memahami konteks ruang, sejarah tempat tersebut, serta hubungan antara manusia dan lingkungannya. Dari pengamatan lokasi, mahasiswa dapat menilai tujuan observasi, bagaimana asal-usul suatu situs ditemukan, hingga bagaimana hubungan antara proses geologi dan perkembangan budaya manusia.
Candi Kedulan sendiri diperkirakan berasal dari abad ke-9 hingga ke-10, pada masa Kerajaan Mataram Hindu. Informasi ini menjadi pintu awal bagi peserta untuk memahami bahwa sebuah situs tidak hanya menyimpan nilai arkeologi, tetapi juga mencerminkan dinamika geologi dan lingkungan pada masa itu.
Irvan kemudian menjelaskan struktur Candi Kedulan yang terdiri dari satu bangunan utama dan tiga bangunan perwara. Dalam arsitektur candi Hindu, bangunan perwara berfungsi sebagai pendamping candi induk dan menggambarkan hierarki kesakralan. Irvan juga menunjukkan bagaimana masyarakat masa lalu memiliki pemahaman lingkungan yang baik, seperti adanya parit yang berfungsi mengatur aliran air sehingga tidak masuk ke area inti candi, serta dinding pagar yang menandai batas suci kawasan tersebut.
Selain itu, peserta melihat banyak arca sapi atau Nandi, yang dalam ajaran Hindu menjadi simbol kesuburan, kemakmuran, dan kedekatan dengan Dewa Siwa. Beragam ornamen dewa di candi juga menjadi bukti bahwa masyarakat pada masa itu menggabungkan seni, kepercayaan, dan simbolisme dalam satu kesatuan bangunan. Setiap ukiran memiliki makna tertentu, dan jenis batuan yang digunakan pun dapat memberikan petunjuk tentang sumber material serta teknik pembangunannya. Di akhir penjelasannya, Irvan menekankan bahwa kebudayaan yang ada saat ini merupakan hasil perjalanan panjang manusia pada masa lalu. Keragaman budaya tercipta karena perbedaan lingkungan, pengetahuan, dan cara hidup masyarakatnya. Melalui kunjungan seperti ini, mahasiswa dapat melihat hubungan antara geologi dan budaya secara lebih dekat dan menyadari bahwa jejak manusia sama pentingnya dengan jejak batuan yang mereka pelajari.
Narasumber kedua, Mradipta Lintang Alifcanta Moktikanana, menyampaikan materi yang berfokus pada kedisiplinan seorang geologist dalam mengatur waktu serta pentingnya konsistensi dalam setiap kegiatan lapangan. Mradipta menekankan bahwa disiplin terhadap jadwal, ketelitian pencatatan data, dan kesiapan fisik adalah bagian dari etika kerja seorang ahli geologi yang tidak dapat dipisahkan dari kualitas hasil pengamatan di lapangan.
Kemudian Mradipta menjelaskan kondisi geologi serta proses pengendapan sedimen yang membentuk lingkungan Candi Kedulan. Berdasarkan penjelasannya, area candi tersebut dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik masa lampau, yang ditunjukkan oleh keberadaan breksi vulkanik serta material sedimen hasil runtuhan dan aliran piroklastik. Proses pengendapan ini memberikan gambaran bahwa Candi Kedulan dibangun pada lingkungan yang dinamis, dipengaruhi oleh aktivitas gunung api yang berlangsung selama ribuan tahun.
Melalui kegiatan Kunjungan Budaya ini, mahasiswa secara langsung telah menerapkan beberapa poin Sustainable Development Goals (SDGs). Pertama, SDG 4: Quality Education, karena kegiatan ini memberikan pengalaman belajar kontekstual melalui observasi langsung di lapangan, memperkuat pemahaman teoritis mengenai geologi dan kebudayaan. Kedua, SDG 11: Sustainable Cities and Communities, yang menekankan pentingnya melestarikan warisan budaya dan geologi. Ketiga, kegiatan ini juga mencerminkan SDG 17: Partnerships for the Goals, karena adanya kolaborasi antara pihak kampus, pembicara ahli, serta pengelola situs budaya dalam menciptakan kegiatan edukatif yang bermanfaat bagi mahasiswa.(Lintang Nugrahesti/HMTG)
Humas Departemen | Desember 2025