Penulis: Ridwan Haris Yogapratama
Awal Juli 2025 menjadi salah satu momen yang paling berkesan dalam perjalanan saya sebagai mahasiswa Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada. Selama tiga minggu penuh, saya bersama teman-teman menjalani Kuliah Lapangan (KL) Pemetaan Geologi Mandiri di daerah Panohan dan sekitarnya, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kawasan ini memadukan bentang alam yang menantang dengan potensi geowisata yang menarik untuk dikembangkan. Saya tergabung dalam Kelompok 14 bersama Haidar Bintang Bahran, Iqbal Arridho Firdaus, dan Luthfi Mahesa Putra, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Sugeng Sapto Surjono, S.T., M.T., IPU, ASEAN Eng. Dalam kegiatan lapangan, saya juga dibantu oleh dua porter saya yang setia menemani, Aulia Faraj Husna Areta (Lei) dan Rifa Mahardika (Rifa).

Kegiatan pemetaan berlangsung dari tanggal 3 hingga 24 Juli 2025, mencakup area seluas 4 x 5 kilometer. Metode yang kami gunakan meliputi observasi langsung, dokumentasi visual, dan pengambilan sampel batuan. Setiap kali berangkat menuju kavling, perjalanan selalu menjadi petualangan tersendiri. Medan yang saya hadapi didominasi perbukitan dengan jalur tanah yang naik dan turun membuatnya sulit untuk dilalui, sehingga banyak titik hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Vegetasi di kavling saya masih lebat, mungkin karena minimnya aktivitas masyarakat di area tersebut. Meski medannya berat, ada satu hal yang selalu membuat perjalanan terasa hangat yaitu keramahan warga setempat. Setiap kali berpapasan, mereka menyapa dan menanyakan tujuan saya. Pernah suatu kali, seorang warga terheran-heran melihat saya mengendarai motor Supra di tengah hutan yang sepi.
Salah satu pengalaman paling mendebarkan terjadi pada suatu sore. Saya dan Lei masih berada di dalam kavling ketika hujan deras tiba-tiba turun. Kami memutuskan untuk berteduh di sebuah pos kayu di tengah hutan, berharap hujan segera reda. Namun, waktu terus berjalan dan hujan tak kunjung berhenti. Saat memutuskan pulang melalui jalur yang sama seperti saat berangkat, kami terkejut melihat jalan telah berubah menjadi aliran sungai kecil akibat banjir lokal. Air yang deras membuat jalur itu mustahil untuk dilewati. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, dan langit semakin gelap. Di tengah rasa panik, Lei beruntung bertemu dengan seorang warga yang menunjukkan jalur memutar. Berkat bantuan itu, kami akhirnya berhasil pulang ke pondokan dengan selamat.
Secara regional, area Bendungan Panohan berada pada jalur lipatan Antiklin Brama. Namun, di lapangan, lipatan ini sulit dikenali secara visual. Erosi telah meratakan sebagian besar struktur, dan vegetasi lebat menutupi singkapan batuan yang seharusnya menjadi petunjuk. Meskipun demikian, keberadaannya dapat didukung oleh data geologi regional serta pengamatan orientasi lapisan batuan. Selain aspek geologi, daerah ini juga memiliki daya tarik budaya. Salah satunya adalah Bukit Prajurit. Warga setempat percaya bahwa siapa pun yang hendak mengikuti tes masuk militer sebaiknya berkunjung ke bukit ini terlebih dahulu, agar dimudahkan dalam kelulusan. Kisah seperti ini memberi warna tersendiri dalam pemetaan, mempertemukan saya dengan interaksi antara alam dan budaya.
Saya melihat Bendungan Panohan dan sekitarnya memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai wisata geologi. Lanskap perbukitan, vegetasi alami, dan keberadaan struktur geologi regional menjadikannya ideal untuk kegiatan edukasi lapangan bagi mahasiswa maupun pelajar, khususnya dalam memahami geologi struktur, geomorfologi, dan proses erosi. Selain itu, potensi rekreasi alam seperti trekking, penjelajahan bukit, dan wisata air di sekitar waduk juga cukup besar. Dikombinasikan dengan wisata budaya seperti mitos Bukit Prajurit, kawasan ini dapat menjadi daya tarik bagi berbagai kalangan.

Bagi saya, pemetaan geologi di Bendungan Panohan bukan sekadar tugas akademis, tetapi sebuah perjalanan untuk menjadi geologist sejati. Kawasan ini menyimpan banyak cerita dan potensi yang sayang untuk diabaikan. Sama seperti hari ketika saya terjebak hujan deras di tengah hutan, setiap sudut Waduk Panohan punya kisah yang tak terlupakan, baik bagi seorang geolog, pelajar, maupun masyarakat umum.
Humas Departemen | Oktober 2025