Pemetaan Geologi Wukiharjo-Tuban: Integrasi Data Lapangan dan Protokol Keselamatan di Medan Ekstrem

Penulis: Wahyu Puji Intansari

 

Tim mahasiswa Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada telah menyelesaikan kegiatan Pemetaan Geologi Mandiri 2025 di Kecamatan Parengan dan Soko, Tuban, Jawa Timur. Selama 14 hari, dari 2 Juli hingga 15 Juli 2025, saya melakukan pemetaan pada kavling seluas 4×5 kilometer yang didominasi oleh medan berat dan menantang. Sekitar 50% area pemetaan berupa ladang jagung dan persawahan berlumpur, diselingi perbukitan batugamping dengan lereng curam yang memiliki kemiringan 56-140%.

Medan ini memiliki tingkat risiko yang tinggi, khususnya bagi saya sebagai pemeta dengan riwayat kesehatan tertentu. Berbagai tantangan akses seperti jalan yang sempit, lereng licin, dan batuan tajam memicu insiden yang hampir terjadi setiap hari. Saya sering mengalami kejadian seperti terjatuh, terpeleset, atau terbentur batugamping hingga mengalami luka-luka. Dalam kondisi seperti ini, penerapan protokol Health, Safety, and Environment (HSE) menjadi pondasi operasional yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Temuan Geologi Signifikan

Pemetaan ini berhasil mengungkap struktur geologi yang unik di Desa Tluwe yaitu sesar geser sinistral yang memotong Formasi Wonocolo serta Desa Pacing dengan sesar geser sinistral yang memotong Formasi Ledok dan Mundu. Sesar ini berhasil diidentifikasi dari offset batuan sejauh 15 meter pada STA 5, 143, 162, dan 163 serta pembelokan alur sungai yang terjadi. Kawasan penelitian didominasi oleh tiga formasi dari periode Miosen Akhir yang memberikan gambaran evolusi geologi wilayah tersebut

(Gambar 1. Temuan sesar geser sinistral di Formasi Mundu dan Wonocolo. (dokumentasi pribadi))

 

 

 

 

 

 

 

 

Selain struktur tektonik, temuan menarik lainnya adalah kehadiran travertine yang ditemukan hampir di semua aliran sungai di wilayah penelitian. Pada daerah ini sangat banyak dijumpai proses pengendapan sekunder dari batugamping berupa travertine, yang terbentuk dari presipitasi kalsium karbonat (CaCO₃) dari air yang kaya akan ion kalsium dan bikarbonat. Proses pembentukan travertine diawali ketika air meteoritik meresap ke dalam tanah dan melarutkan batuan karbonat seperti batugamping atau dolomit melalui reaksi antara CaCO₃, CO₂, dan H₂O, mengh asilkan larutan kaya Ca²⁺ dan HCO₃⁻.

Ketika air tersebut muncul ke permukaan melalui mata air atau rekahan, terjadi penurunan tekanan dan pelepasan gas CO₂ (degassing) akibat perubahan suhu dan kondisi kimia. Pelepasan CO₂ ini memicu presipitasi CaCO₃, yang kemudian mengendap dan membentuk lapisan travertine. Endapan yang terbentuk umumnya berpori akibat gelembung gas yang terperangkap selama pengendapan, serta dapat membentuk teras-teras bertingkat atau gundukan di sekitar aliran air. Hal ini terjadi karena travertine terendapkan mengikuti arah aliran air pada saat presipitasi berlangsung. Kehadiran travertine yang melimpah ini mengindikasikan bahwa daerah tersebut didominasi oleh batuan karbonat seperti batugamping atau dolomit.

(Gambar 2. Temuan travertine yang berbentuk seperti melipat. (dokumentasi pribadi)

 

 

 

 

 

 

Unit pertama adalah Formasi Wonocolo yang terdiri dari batuan napal berwarna hijau dengan kandungan fosil foraminifera plankton yang melimpah, menunjukkan lingkungan sedimentasi laut dangkal pada masa lampau.

Temuan yang menarik perhatian adalah keberadaan gua-gua yang tersusun atas batugamping tebal di dalam area yang dipetakan sebagai Formasi Wonocolo. Batugamping penyusun gua-gua ini memiliki karakteristik tebal dan cenderung kristalin, yang seharusnya merupakan penciri khas Formasi Bulu. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan menarik terkait hubungan stratigrafi antar formasi atau kemungkinan adanya interkalasi unit batugamping Formasi Bulu dalam sekuen Formasi Wonocolo yang perlu dikaji lebih lanjut.

(Gambar 3. Temuan gua yang terbentuk dalam lapisan batugamping kristal tebal di unit Formasi Wonocolo (dokumentasi pribadi)

 

 

 

 

 

 

 

Humas Departemen | Oktober 2025