Petualangan Dua Minggu, Antara Tantangan dan Temuan di Kavling 60

Penulis: Nisrina Balqis Salsabila

 

Sebelas hari pemetaan di Bayat telah berlalu, meninggalkan jejak kisah, pengalaman, dan pelajaran yang tak ternilai. Namun perjalanan kuliah lapangan belum berakhir. Langkah kaki kami berlanjut menuju pemetaan mandiri di kavling masing-masing. Kami, angkatan 2023, mendapat kesempatan untuk menjejakkan kaki di zona antiklinorium Rembang. Berbekal pengalaman yang ditimba selama di Bayat, saya memulai pemetaan di kavling 60, wilayah seluas kurang lebih 4 x 5 kilometer yang membentang di Kecamatan Japah dan sekitarnya, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Setiap hari, tepat pukul 08.00, saya dan porter memulai aktivitas, lalu kembali ke basecamp ketika mentari mulai merunduk pada pukul 17.00. Rutinitas itu berulang selama dua minggu, dari 2 hingga 16 Juli 2025.

Kavling 60: Selatan yang Sunyi

Hari-hari awal pemetaan bukanlah kisah yang mulus. Bagian selatan kavling, dengan lanskap persawahan, kebun warga, dan hutan jati, berpadu dengan elevasi rendah antara 100– 200 meter, membuat singkapan bagai harta karun yang tersembunyi. Ada rasa iri yang sempat mengendap di hati melihat rekan-rekan menemukan singkapan sejak hari pertama. Namun, langkah saya tak berhenti. Titik balik semangat datang ketika di sebuah lembah, di antara persawahan dan hutan jati, saya menjumpai singkapan besar, dimana terdapat batugamping pasiran yang menyimpan pecahan cangkang di dalamnya.

Sejak itu, saya menemukan trik untuk menapaki alur sungai dan parit hampir setiap hari demi mengungkap rahasia yang tersimpan dalam kavling ini. Namun, tanah yang telah diolah warga untuk bertani menambah tantangan. Litologi yang tidak resisten berupa batulanau karbonatan seolah tak memberi perlawanan pada waktu, membuat struktur geologi sukar diungkap. Bagaimana mungkin melakukan rekonstruksi jika strike dan dip saja enggan terbaca akibat singkapan yang ada hampir selalu masif?

Menembus Rimba Utara

Lain cerita ketika saya menjelalah ke utara. Di sana, hutan rimba lebat menanti, jarang sekali dijamah manusia. Kisah mistis masih cukup kental tersebar di masyarakat tentang hutan ini. Bahkan, tersisa reruntuhan jembatan peninggalan masa penjajahan Belanda yang dulu membentang di atas sungai. Kini, seiring perjalanan waktu, jembatan itu telah runtuh, meninggalkan jejak bisu sejarah. Bersama Pak Santoso, warga setempat, kami “membabat alas” menembus semak dan pepohonan tanpa jejak jalan yang pernah dilewati manusia sebelumnya. Ternyata hutan itu menyimpan batugamping kristalin, shale, batugamping pasiran, wackestone, packstone. Ditemukan juga sayap dari struktur antiklin di kavling saya. Tak heran warga memanfaatkan wilayah itu untuk pengeboran minyak bumi. Puncak perjalanan itu tercapai ketika, di sebuah sungai tersembunyi, saya menemukan sesar geser dextral maupun sesar-sesar minor.