Penulis: Haidar Bintang Bahran
Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah merupakan titik lokasi pemetaan geologi mandiri 2025 untuk kaveling 106. Daerah ini tidak hanya dikenal akan kekayaan budaya dan hasil alamnya, tetapi juga memiliki latar belakang geologi yang memengaruhi pola persebaran vegetasi dan pemanfaatan lahan. Salah satu vegetasi khas yang banyak dijumpai di wilayah ini adalah pohon siwalan, terutama di jalur yang menghubungkan Kecamatan Sulang hingga Kecamatan Gunem. Jalur ini dipenuhi pemandangan deretan pohon siwalan yang berdiri kokoh di lahan-lahan perkebunan dan sepanjang sawah, menghasilkan dua produk utama yang menjadi ikon daerah tersebut yaitu legen dan buah siwalan.
Dari sisi geologi regional, jalur Sulang – Gunem berada di bagian selatan Cekungan Rembang yang tersusun oleh formasi batuan sedimen berumur Miosen hingga Pliosen pada Formasi Mundu, yang sebagian besar tersusun oleh napal gampingan yang umumnya diendapkan di lingkungan laut dangkal hingga neritik luar, sering kali mengandung fosil foraminifera besar. Formasi tersebut menghasilkan tanah berkapur dengan sifat drainase alami yang sangat baik, sehingga air hujan cepat meresap melalui pori-pori batuan karbonat dan rekahan. Akibatnya, lapisan tanah jarang tergenang dalam waktu lama. Kondisi ini membuat lahan menjadi kurang optimal untuk pertanian padi sawah yang memerlukan genangan, tetapi sangat mendukung pertumbuhan tahan kering seperti pohon siwalan. Kandungan mineral pada tanah hasil pelapukan batugamping, seperti kalsium, juga memengaruhi karakteristik air tanah dan kesuburan spesifik yang mendukung pertumbuhan pohon palem-paleman ini.
Iklim di wilayah Sulang – Gunem dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi yang di mana perbukitan kapur rendah dan dataran kering menjadi ciri utama. Curah hujan tahunan yang relatif rendah dan musim kemarau yang panjang menciptakan lingkungan semi-arid lokal. Pohon siwalan, dengan akar yang dalam dan kemampuan menyimpan air pada batangnya, mampu beradaptasi pada kondisi tersebut, menjadikannya spesies dominan di lahan kering berbatu. Secara ekologis, keberadaan siwalan di jalur ini merupakan indikator alami bahwa daerah tersebut memiliki muka air tanah yang cukup dalam, tekstur tanah berpasir–lempung berkapur, serta topografi yang tidak tergenang air.
Legen sebagai hasil sadapan nira bunga jantan siwalan, serta buah siwalan dari pohon betina, menjadi produk yang secara tidak langsung berasal dari faktor biologis dan geologi. Batuan karbonat yang mendominasi daerah ini menyebabkan infiltrasi air tinggi, sehingga air hujan cepat meresap ke dalam tanah dan tersimpan di kedalaman. Hal ini memaksa tanaman untuk mengembangkan sistem perakaran yang kuat dan dalam, seperti yang dimiliki pohon siwalan. Kemampuan ini membuat pohon siwalan tetap produktif menghasilkan nira meskipun musim kemarau panjang melanda, sebuah adaptasi yang menguntungkan masyarakat lokal dengan mengandalkan produksinya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.
Persebaran pohon siwalan di jalur Sulang – Gunem juga dipengaruhi oleh sejarah penggunaan lahan. Daerah dengan singkapan batu gamping dan napal yang sulit diolah untuk pertanian intensif umumnya dibiarkan menjadi lahan terbuka atau kebun, yang kemudian secara alami ditumbuhi vegetasi tahan kering, termasuk siwalan. Inilah sebabnya, kawasan sekitar jalur tersebut memiliki konsentrasi pohon siwalan yang tinggi. Lokasi-lokasi ini secara geologi berada di area dengan lapisan tanah tipis di atas batugamping, sehingga tidak cocok untuk sawah irigasi, tetapi ideal untuk pohon-pohon yang membutuhkan lahan kering dengan sinar matahari penuh.
Dengan memahami keterkaitan antara geologi regional dan persebaran pohon siwalan, kita dapat melihat bahwa legen dan buah siwalan bukan hanya sekadar produk kuliner, melainkan hasil dari hubungan erat antara kondisi geologi dan iklim dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Pohon siwalan menjadi simbol adaptasi lingkungan terhadap keterbatasan sumber daya air dan kesuburan tanah, sekaligus bukti bahwa kondisi geologi suatu daerah dapat membentuk identitas kuliner.
Humas Departemen | Oktober 2025