Penulis: Muhammad Lasauva Yardha


Kuliah Lapangan Pemetaan Geologi Mandiri (KLPGM) 2025 menjadi salah satu ajang pembelajaran paling penting bagi mahasiswa Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada. Tahun ini, sebanyak 129 mahasiswa angkatan 2023 diterjunkan untuk memetakan wilayah Zona Rembang yang membentang dari timur hingga barat. Kegiatan ini dibagi ke dalam 28 kelompok dengan pembagian kaveling yang berbeda-beda. Saya tergabung dalam Kelompok 18 yang kami beri nama Lontong Balap, bersama empat rekan lainnya: Fareza, Ichsan, Feby, dan Kahla. Kami dibimbing oleh Prof. Dr.Eng. Ir. Wahyu Wilopo, S.T., M.Eng., IPM., pakar Geologi Tata Lingkungan yang telah banyak berkarya di bidang pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
Kavling kelompok kami meliputi dua wilayah administratif, yaitu Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang. Sebagian besar kegiatan lapangan terfokus di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang. Kami tinggal di rumah Ibu Kundari, Kepala Desa yang selalu ramah menyambut kami. Pondokan kami berisi sembilan orang, lima mapper dan empat porter. Suasana kekeluargaan di rumah tersebut membuat proses adaptasi di lapangan menjadi lebih mudah, sekaligus memberi kesempatan untuk mengenal kehidupan masyarakat setempat.

Secara geologi, kavling saya cukup unik. Sekitar 60% wilayah merupakan area tambang batugamping, dari skala tambang rakyat hingga industri besar. Yang paling mencolok adalah keberadaan kompleks tambang dan pabrik PT Semen Gresik Indonesia yang berstatus sebagai objek vital nasional. Kehadiran industri ini mengilustrasikan keterkaitan erat antara kekayaan geologi dan keberlangsungan pembangunan ekonomi daerah. Namun, di sisi lain, keberadaannya juga menuntut adanya pengelolaan sumber daya yang berwawasan lingkungan, selaras dengan tujuan SDG 12 (Responsible Consumption and Production).
Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Jatirogo, urutan stratigrafi kaveling saya dimulai dari Formasi Ngrayong yang terdiri dari batupasir, kemudian Formasi Bulu dan Formasi Wonocolo. Di atasnya, hadir Formasi Ledok yang kaya fosil foraminifera besar, lalu Formasi Mundu dan Formasi Paciran yang saling menjari. Peta regional tersebut dibuat pada skala 1:100.000, sedangkan dalam pemetaan ini kami ditugaskan membagi satuan batuan secara lebih rinci pada skala 1:25.000. Perbedaan skala ini membuat pekerjaan kami lebih detail dan teliti, karena batas-batas formasi yang kabur di peta regional bisa diungkap dengan observasi langsung di lapangan.

Dalam proses pemetaan, saya merasakan betapa menantangnya membedakan variasi litologi batugamping, baik dari segi warna, ukuran butir, hingga kandungan fosil. Area tambang justru membantu dalam penyediaan singkapan yang jelas, meskipun medan terjal, panas terik, dan hujan mendadak menjadi bagian dari keseharian. Bagi saya, setiap singkapan yang berhasil diidentifikasi memberi rasa puas tersendiri, seperti memecahkan teka-teki yang tersimpan jutaan tahun.
Fitur geologi lokal yang menonjol tentu saja adalah tambang batugamping itu sendiri. Selain menjadi sumber bahan baku semen, batugamping di wilayah ini menyimpan cerita panjang sejarah geologi Zona Rembang. Di beberapa titik, kami juga menemukan indikasi perlapisan yang berpotensi sebagai akuifer dangkal. Potensi ini relevan bagi masyarakat sekitar yang mengandalkan sumber air tanah, apalagi di musim kemarau. Hal ini bersentuhan langsung dengan SDG 6 (Clean Water and Sanitation).
Selain aspek geologinya, kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Tegaldowo juga menjadi bagian penting dari pengamatan kami. Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani jagung. Lahan-lahan kering di sekitar perbukitan batugamping mereka manfaatkan secara optimal untuk bercocok tanam. Dari interaksi pribadi saya dengan para petani, saya memahami bahwa kondisi geologi tidak hanya memengaruhi bentang alam, tetapi juga membentuk pilihan hidup dan ekonomi masyarakat.
Kontribusi pemetaan ini tidak hanya bersifat akademis. Data litologi, struktur, dan stratigrafi yang kami kumpulkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun pihak industri untuk memastikan eksploitasi sumber daya mineral dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Dengan pemahaman geologi yang lebih detail, kebijakan pengelolaan tambang dapat diarahkan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan mendukung kelestarian lahan pertanian, yang sejalan dengan SDG 15 (Life on Land).
Bagi saya pribadi, pemetaan geologi di Tegaldowo adalah pengalaman yang mempertemukan ilmu pengetahuan, kerja lapangan, dan kehidupan masyarakat secara nyata. Saya belajar bahwa geologi tidak hanya bicara tentang batu dan peta, tetapi juga tentang manusia, lingkungan, dan keberlanjutan. Setiap garis yang saya tarik di peta adalah representasi dari data yang nantinya dapat memberi manfaat nyata bagi banyak pihak.
Dari Tegaldowo, kami membawa pulang lebih dari sekadar peta. Saya membawa pulang pemahaman bahwa menjaga bumi berarti memahami cerita panjang yang tertulis di setiap lapisan batu, menghormati kehidupan masyarakat yang bergantung padanya, dan memastikan bahwa eksploitasi sumber daya selalu berjalan selaras dengan prinsip keberlanjutan. Pemetaan ini bukan akhir, tetapi awal dari tanggung jawab saya—dan kami semua—sebagai calon geolog untuk menjadi penjaga bumi yang bijak.
Puisi Penutup
Di antara tebing dan ladang jagung,
kami membaca kisah yang dibisikkan batu.
Di bawah terik, di sela hujan,
kami mengukir peta sebagai janji masa depan.
Bumi bukan sekadar pijakan,
ia adalah warisan dan titipan;
yang harus dijaga,
seperti kami menjaga nama kami sendiri.Rembang, 1-17 Juli 2025
Humas Departemen | September 2025