Pemetaan Geologi bak Petualangan di Perbatasan Rembang – Blora: Untold Stories

Penulis: Fareza Azkiya Mukti

 

“Kuliah” dan “Lapangan”, adalah dua kegiatan yang akrab dilakukan oleh mahasiswa Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM). Senang atau sedih, berhasil atau mengulang, mahal atau murah tidak lagi menjadi pikiran bagi mereka yang menjalani pemetaan ini dengan gertakan dari hati. Selama hampir tiga minggu, saya dengan teman kelompok 18 menjalani Kuliah Lapangan Geologi, atau sering dikenal orang sebagai KLG, Pemetaan Geologi Mandiri di Desa Gandu, Kecamatan Bogorejo, Kabupaten Blora. Setiap pagi, saya harus menempuh perjalanan sejauh 6 kilometer dari pondokan kami di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, melintasi jalan berbatu sebelum akhirnya tiba di kaveling. Medan ini tidak pernah memberi kemudahan—namun justru di situlah letak tantangannya.

Berbeda dengan kebanyakan mahasiswa yang bekerja berkelompok atau bersama porter, kali ini saya menjalani pemetaan seorang diri. Tugas ini membuat setiap hari di lapangan terasa seperti membuat bab baru dalam sebuah kisah petualangan. Selalu ada cerita yang menunggu di balik setiap belokan jalan atau tebing singkapan. Pernah suatu kali, pohon tumbang menghalangi jalur sehingga saya harus memutar akal dengan memaksa lewat jalan yang tidak semestinya. Di kesempatan lain, keindahan fosil echinodermata pada batulempung nyaris membuat saya tertimpa batu singkapan yang menggantung rapuh, dan bahkan tersedot lumpur hisap hingga hampir kehilangan sepatu. Karena keterbatasan personil, dalam setiap perjalanan tongkat Jacob selalu terpasang di punggung, dikaitkan pada tas, layaknya Sun Go Kong.

Makan siang hampir tak pernah saya nikmati di lapangan—bukan karena ingin menghemat uang, melainkan karena warung makan begitu jarang ditemukan di tempat ini. Perut yang kosong seringkali saya isi dengan air minum dan semangat untuk menyelesaikan rencana lintasan hari itu. Meski begitu, semua tantangan ini terasa sepadan dengan apa yang saya temui di lapangan. Vegetasi yang lebat, singkapan yang tersembunyi, dan kontur perbukitan yang kompleks membuat setiap pengamatan menjadi seperti memecahkan teka-teki besar tentang sejarah geologi daerah ini.

Secara regional, lokasi pemetaan saya berada pada jalur lipatan asimetris menunjam Antiklin Pakel yang melampar timur-barat (Husein, 2015). Antiklin menyusun sebagian kecil dari rangkaian besar antiklinorium Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) akibat aktivitas tektonik masa lampau. Proses erosional yang berlangsung sejak lama mengupas bagian sumbu dari lipatan Pakel dan mengungkap Formasi Ngrayong (Situmorang, 1993), yang merupakan formasi batuan tertua yang ditemukan pada kaveling. Formasi yang didominasi batuan sedimen klastik tersebut dikelilingi oleh batugamping dari Formasi Bulu yang lebih mencolok secara morfologi, membentuk jajaran punggungan antiklin dan dipisahkan oleh lembah sinklin. Hasil berpetualang juga menunjukkan bahwa lokasi saya banyak terpengaruh oleh sesar geser, dimana pola kemiringan lapisan batuan di setiap titik pengamatan memberikan petunjuk bahwa pengaruh struktur memang ada, selaras dengan peta geologi regional.

Sebagai mahasiswa yang beranjak “tua di masa perkuliahan”, saya menemukan beberapa potensi geologi yang asik untuk diulik lebih lanjut. Satuan batupasir yang berseling dengan batulempung pada Formasi Ngrayong memiliki karakteristik sortasi sedang dan tingkat konsoliditas yang bervariasi. Hal ini membuat kestabilan batuan pada lokasi ditemukannya satuan ini menarik untuk ditinjau perihal keamanannya, spesifik ke arah analisis pergerakan tanah. Selain itu, proses diagenesa batuan karbonat pada formasi penyusun Zona Rembang seperti Bulu, Wonocolo, Ledok dan Paciran juga berpotensi dianalisis untuk studi reservoir hidrokarbon dan air tanah, tak terlepas dari kenyataan bahwa batupasir Formasi Ngrayong yang menjadi sumber ekstrasi migas di kala penjajahan Belanda.

Selain menjalani peran sebagai pemetaan, saya juga mengemban tanggung jawab sebagai Wakil Ketua Panitia Mahasiswa KLG untuk angkatan 2023. Pengalaman mengurus berbagai perlengkapan selama KL Bayat mengajarkan saya bahwa kerja lapangan bukan hanya soal membaca batuan, tetapi juga soal membangun koordinasi yang menyenangkan, menjaga kekompakan angkatan dan merawat mental seorang mahasiswa. Saya sangat bersyukur dan bangga menjadi bagian dari 2023 saat menjalankan kuliah lapangan ini, karena tak satupun cerita lucu, mencekam dan mengharukan dapat tercipta tanpa mereka.

Bagi saya, tiga minggu di perbatasan Blora–Rembang ini bukan sekadar memenuhi target akademik. Ini adalah sebuah perjalanan suci ke depan, dimana tidak bisa lagi melihat ke belakang untuk mengelak, melewati latihan mental dan fisik untuk menjadi seorang geologist yang mumpuni. Jalan berbatu, lumpur hisap, hujan mendadak, bahkan perut kosong—semuanya menjadi bagian dari cerita yang akan selalu saya kenang. Sama seperti jejak yang saya tinggalkan di tanah perbukitan itu, pengalaman ini akan menjadi fondasi dalam perjalanan panjang saya memahami bumi dan segala rahasianya.

 

Humas Departemen | Oktober 2025