Dari Batuan ke Kehidupan: Cerita Pemetaan Geologi dan Kontribusinya pada SDGs

Penulis: Andrew Hanan Pasha

 

Di balik peta geologi yang kita lihat di dinding ruang kuliah atau laporan teknis, selalu ada cerita panjang di lapangan—cerita tentang medan yang harus dilalui, batuan yang diamati, hingga interaksi dengan masyarakat setempat. Pemetaan geologi yang dilakukan di Desa Tegalrejo, Dokoro, Karangasem, Sumberagung, Pelemsengir, dan Maitan—mencakup Kecamatan Wirosari, Ngaringan, Tambakromo, dan Todanan—bukan hanya upaya akademis, melainkan juga langkah nyata untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Kegiatan ini melibatkan area seluas 4 × 5 km dengan skala 1:25.000, memadukan analisis data DEM untuk peta topografi dan observasi langsung di lapangan. Data yang dikumpulkan mencakup paleontologi, petrologi, stratigrafi, dan struktur geologi, membentuk gambaran menyeluruh tentang kondisi geologi lokal.

Menyusuri bentang alam di wilayah perbatasan Jawa Tengah–Jawa Timur berarti menapaki catatan panjang sejarah bumi yang tersimpan dalam lipatan batuan dan bentuk muka tanahnya. Setiap kavling pemetaan memiliki kisahnya sendiri—tentang bagaimana lingkungan purba terbentuk, berubah, dan meninggalkan jejak yang kini dapat kita amati. Di punggungan sinklin Dokoro, misalnya, langkah demi langkah terasa seperti membalik lembaran buku sejarah bumi yang terlipat rapi. Di sini, Formasi Tawun tersingkap, terdiri dari batulempung kehijauan dengan sisipan batupasir halus yang menjadi saksi kala Miosen Awal, ketika wilayah ini merupakan rawa dan laguna yang tenang. Temuan ini penting dalam konteks SDG 13 tentang penanganan perubahan iklim, karena memberikan pemahaman mengenai perubahan lingkungan purba yang dapat menjadi acuan memprediksi respons geologi terhadap perubahan iklim masa kini.
Perjalanan berlanjut menuju perbukitan kuesta Tegalrejo, di mana erosi telah memahat lereng dan memperlihatkan pertemuan dua formasi berbeda: Ngrayong dan Bulu. Batupasir kuarsa pesisir dan batugamping laut dangkal di sini merekam kisah maju-mundurnya laut purba. Informasi ini berharga untuk mendukung SDG 14 terkait ekosistem laut, sebab membantu merekonstruksi dinamika pesisir masa lalu yang relevan untuk model pengelolaan pantai di masa depan.

Di dataran denudasional Tegalrejo, singkapan batuan memang jarang terlihat karena tertutup tanah pelapukan tebal. Namun, wilayah ini menyimpan potensi yang tak kalah penting. Karakteristik tanah dan batuan induk di bawahnya menjadi dasar pengelolaan lahan pertanian yang berkelanjutan, sejalan dengan SDG 2 yang menargetkan tercapainya kondisi tanpa kelaparan. Dengan memahami sifat tanah dan proses geologi yang membentuknya, pertanian lokal dapat dikelola dengan lebih tepat, menjaga produktivitas sekaligus kelestarian lingkungan.

Melalui rangkaian pengamatan ini, setiap kavling bukan sekadar lokasi di peta, melainkan fragmen cerita besar tentang hubungan antara bumi dan kehidupan, di mana sains geologi berperan langsung dalam mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan.

Dari batuan yang tersingkap di lereng bukit hingga sedimen yang tersembunyi di bawah permukaan, setiap hasil pengamatan lapangan menyimpan informasi yang jauh melampaui sekadar keindahan sebuah peta geologi. Data yang terkumpul dapat diolah menjadi pengetahuan praktis yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat dan lingkungan. Analisis litologi seperti pasir kuarsa pada Formasi Ngrayong, misalnya, dapat membantu mengidentifikasi zona akuifer potensial yang berguna untuk menentukan lokasi sumur yang efisien dan berkelanjutan, sejalan dengan tujuan SDG 6 mengenai air bersih dan sanitasi. Interpretasi struktur geologi, seperti patahan dan lipatan, juga menjadi dasar penting dalam evaluasi risiko bencana geologi sehingga pembangunan infrastruktur dapat dilakukan dengan lebih aman, mendukung SDG 11 tentang kota dan permukiman berkelanjutan. Bahkan, pemahaman terhadap proses denudasi dan erosi memberi arahan bagi strategi konservasi lahan di perbukitan kuesta maupun punggungan sinklin, menjaga kestabilan ekosistem daratan sebagaimana diamanatkan SDG 15. Dengan demikian, setiap titik pengamatan bukan hanya rekaman sejarah geologi, tetapi juga kunci untuk merancang masa depan yang lebih berkelanjutan.

Kegiatan pemetaan geologi di wilayah perbatasan Jawa Tengah–Jawa Timur ini membuktikan bahwa sains kebumian bukan hanya berbicara tentang masa lalu bumi, tetapi juga memberi solusi untuk masa depan. Dengan mengaitkan hasil pemetaan pada SDGs, data geologi lapangan menjadi lebih bermakna: bukan sekadar catatan ilmiah, tetapi juga panduan untuk pembangunan yang berkelanjutan.

 

Humas Departemen | Oktober 2025